28.3.09

DKJT DAN FASILITAS KEBUDAYAAN

Senin, 10 Maret 2003
Dewan Kesenian Jatim dan Fasilitas Kebudayaan
KARENA Gubernur Jawa Timur (Jatim) Imam Utomo sendiri yang melantik, maka secara moral gubernur harus mengakui keberadaan Dewan Kesenian Jatim sebagai institusi sah pemangku kebudayaan. Sama sahnya dengan institusi bisnis, institusi olahraga, dan sebagainya.
Kebudayaan mestinya ditempatkan oleh negara sebagai faktor paling penting dalam kehidupan bernegara. Karena semua bangsa yang beradab pasti menganggap kebudayaan adalah roh suatu bangsa.
Bahkan, dalam sejarah terlihat bahwa bangsa-bangsa kuno pun menempatkan kebudayaan sedemikian tinggi. Ini terlihat dari peninggalan-peninggalan kebudayaan yang spektakuler, seperti candi-candi suku Aztec, Inka, dan Maya di Amerika, sphinx dan piramid di Mesir, dan sangat banyak lagi.
Mestinya, kalau Pemerintah Indonesia menjalankan UUD 1945 dengan benar, pasti juga akan melakukan hal yang seperti itu. Karena, dalam UUD 1945 Pasal 32 disebutkan bahwa pemerintah wajib memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Pengertian wajib memajukan mestinya berkonotasi mengutamakan, dan bukan hanya menempatkan kebudayaan sebagai "pelengkap saja" atau "asal ada saja". Kalau kita perbandingkan antara Indonesia dengan Malaysia-tak perlu membandingkan dengan Perancis atau Amerika Serikat-Indonesia kalah jauh dengan upaya Malaysia memajukan kebudayaan. Padahal, kebudayaan Indonesia sudah lama maju dan tingkat kecanggihan yang tinggi dibanding bangsa lain, termasuk sesama puak Melayu di Malaysia.
Jangankan naskah Desawarnana (Negarakertagama) yang notabene ditulis oleh orang dalam Majapahit sendiri, sedangkan naskah Sejarah Raja-raja Melayu karya pujangga Melayu Semenanjung, maupun Hikayat Banjar yang ditulis oleh pujangga Banjar, Kalimantan, pun memuji sungguh-sungguh bahwa kebudayaan Majapahit (kini boleh disebut sebagai pilar utama kebudayaan Jawa dan Indonesia), merupakan kebudayaan yang canggih.
Dalam semua kitab kuno itu tergambarkan, semua raja-raja atau pangeran dari Nusantara ataupun luar Nusantara, menimba ilmu pemerintahan dan kebudayaan dari Majapahit. Ilmu tata pemerintahan Majapahit yang dijadikan pedoman tata pemerintahan raja-raja Nusantara itu telah dikaji mendalam oleh budayawan Indonesia Mr Mohamad Yamin, dan kemudian ditulisnya dalam sebuah buku yang banyak dijadikan rujukan oleh ilmuwan Nusantara.
Setelah Mataram berdiri, unsur-unsur budaya Majapahit itu dipercanggih oleh Mataram dengan mengambil unsur Islam dari keraton Demak yang ditundukkannya, lalu disenyawakan dengan unsur Hindu warisan Majapahit.
Kebudayaan campuran itu, yang kemudian disebut Kejawen menjadi unsur penting yang menjadikan kebudayaan Jawa begitu rumit dan canggih, yang kemudian kelihatan paling menonjol dibanding kebudayaan daerah lain di Indonesia ketika Republik Indonesia didirikan oleh orang-orang Jawa dan etnis lain Indonesia.
KEBUDAYAAN Jawa Kejawen itu oleh seorang budayawan Malaysia, SM Zakir, dinilai sebagai salah satu warisan kebudayaan agung dunia, sejajar dengan kebudayaan Yunani. Ketika Indonesia semakin kokoh di bawah pemerintahan yang kuat (meskipun korup luar biasa), modernisasi juga merasuki semua unsur kebudayaan, terutama disusupkan oleh seniman-seniman intelektual.
Maka, lihatlah kebudayaan Indonesia modern dianggap berkembang luar biasa ketika Jakarta di tahun 1970-an disubsidi oleh Gubernur Ali Sadikin dengan berbagai fasilitas kebudayaan dan uang yang luar biasa banyaknya. Dan, karena Jakarta yang antara lain dimotori oleh DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dan intelektual di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) juga merangkul kebudayaan daerah (meski cuma sekadarnya). Namun, kebudayaan daerah pun kemudian berkembang dengan modernisasi yang lumayan.
Akan tetapi, semenjak Ali Sadikin dipecat Soeharto, dan tak ada lagi pejabat yang memperhatikan kebudayaan Indonesia, maka lambat laun bangsa lain, terutama dalam bahasan ini ialah Malaysia dan Singapura, mulai menyalip Indonesia. Misalnya, Malaysia sejak Mahathir Mohammad terpilih menjadi perdana menteri di akhir tahun 1970-an, yang dicanangkannya adalah "Ekonomi Baru Malaysia". Namun, dalam program ekonomi baru itu termasuk pula memajukan kebudayaan.
Oleh karena itulah, di samping memajukan ekonomi Malaysia yang bercirikan: "menomorsatukan hak-hak rakyat pribumi", Malaysia juga mengguyur kegiatan pendidikan dan kebudayaan dengan dana yang luar biasa besarnya. Termasuk mengirim sebanyak-banyaknya mahasiswanya dengan beasiswa dari pemerintah untuk belajar ke luar negeri (termasuk ke Indonesia), dan pembangunan infrastruktur kesenian dan kebudayaan luar biasa banyaknya, bahkan boleh dikata berlebihan.
Saya ambil contoh, jika Pemerintah DKI Jakarta memberi dana untuk DKJ sekitar Rp 2 milyar setahun untuk seluruh komite, Pemerintah Malaysia memberi dana rutin Rp 7 milyar setahun (berdasar buku laporan Gapena tahun 1999 dan kini mungkin sudah diperbesar lagi) kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) pelat merah yang hanya mengurusi sastra tok yang bernama Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (Gapena).
Itu belum termasuk fasilitas gedung yang amat sangat representatif, plus 50 ekar (hektar atau acre?) tanah di daerah Sungai Tekali, Ulu Langat, pinggiran Kuala Lumpur yang boleh disewakan dan hasil sewanya boleh dipakai untuk kegiatan Gapena.
Di samping itu, pemerintah juga menghibahkan 14 unit kilang industri kecil di Bukit Serdang, juga di pinggiran Kuala Lumpur yang ongkos sewanya masuk ke kantung Gapena sebagai dana abadi.
Itu pun masih ditambah dengan berbagai proyek pemerintah yang diorderkan kepada Gapena, plus berbagai sumbangan dari lembaga bisnis, misalnya, bank, perusahaan minyak, dan sebagainya, yang seakan berlomba memberi sponsor kepada Gapena. Gapena juga mempunyai saham di beberapa bank, dan sejak tahun 1999 mendirikan perusahaan Gapeniaga dan Akademi Gapena.
Sudah begitu, Gapena masih berani mengkritisi kebijakan-kebijakan Pemerintah Malaysia yang dipandang merugikan pembangunan kebudayaan Malaysia, terutama kebudayaan Melayu.
KINI kita lihat di Surabaya, Kantor Dewan Kesenian Jatim masih nebeng di Kompleks Taman Budaya Jawa Timur (TBJT). Itu pun konon TBJT-nya akan dijual ke tauke yang ingin mendirikan kompleks bisnis.
Apakah semua dewan kesenian di Indonesia ditelantarkan oleh pemerintah yang lebih tertarik mengurusi bisnis dan intrik politik dan anti-kebudayaan, seakan-akan manusia itu hanya butuh makan persis seperti binatang dan tidak butuh kebudayaan? Hal itu adalah tergantung kesadaran gubernurnya.
Memang, umumnya dewan kesenian di Indonesia ditelantarkan, tetapi di Riau, Lampung, Medan, Samarinda, dan Pontianak, dewan kesenian mendapat perhatian dan guyuran dana dari pemerintahnya. Bahkan, Riau yang paling fantastis dalam hal dana dan fasilitas, mungkin karena mereka mencontoh tetangga dekat mereka, Malaysia dan Singapura.
Di samping itu, karena seniman-seniman Riau memang bergaul sangat dekat dengan gubernur dan para pejabat Riau serta kaum bisnis dan industriwan di sana. Bahkan, beberapa pejabat Riau dan pengusaha Riau berasal dari kalangan seniman, persis seperti di Malaysia.
Di Riau hanya menjadi seniman total saja seseorang sudah bisa hidup, padahal taraf hidup dan harga-harga di Riau sangat mahal, karena proyek seni diadakan bukan hanya tiap minggu, namun hampir setiap hari. Sedangkan event seni yang sangat besar diadakan hampir setiap bulan, yang bahkan mengundang seniman dari Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand.
Maka, tantangan para pengurus Dewan Kesenian Jatim kini adalah mendekati gubernur dan pengusaha, dan meyakinkan kepada mereka bahwa manusia itu tidak sama dengan binatang. Yang membedakan manusia dengan binatang adalah faktor kebudayaan, faktor lainnya sama saja.
VIDDY AD DAERY, penyair, novelis, dan penulis kolo

Bagaimana dengan nasib DKG (Dewan Kesenian Gresik) ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar