29.3.09

APA KATA IR. H. AHMAD NADIR

Januari 10, 2008
Rencana Legislatif Dalam Mendukung Perkembangan Seni & Budaya Di MasyarakatPosted by kelompokcager under Diskusi
Minggu, 13 Mei 2007
Pemateri : Ir. Ahmad Nadhir
** Ketua DPRD Kab. Gresik Periode 2004 - 2009
Pada dasarnya dalam menjalankan tugas perwakilannya di lembaga legislatif adalah melaksanakan 3 peran utamanya, yaitu :
1. Peran legislasi atau pengaturan. Sebuah peran sebagai regulator yaitu pembuat peraturan / regulasi.2. Peran pengawasan terhadap kinerja eksekutif yang berlaku secara otomatis (namun tidak dijelaskan mekanisme pengawasan terhadap eksekutif selain melalui forum dengar pendapat).3. Peran pengannggaran atau budgeting yang dititikberatkan pada fungsinya, yaitu menolak atau menyetujui anggaran yang ditetapkan dalam APBD.
Dalam keterkaitan dengan wilayah seni & budaya, ketua DPRD yang juga dikenal kiprahnya dalam organisasi GPA (Gerakan Pemuda Anshor) berharap mampu menjalankan fungsi legislasi secara optimal dalam membuat perda yang berfungsi untuk melindungi cagar budaya dan harapan munculnya gresik yang memiliki wilayah seni.
Namun sayang, kebanyakan masyarakat seniman Gresik menyoroti pada tidak adanya gedung yang khusus bisa digunakan sebagai tempat untuk apreseasi kesenian. Baik sebagai tempat pameran (untuk seni rupa) atau juga sebagai tempat unjuk karya bagi seniman teater, musik, tari. Ketua DPRD yang saat itu memaparkan bahwa masa kerja pengurus pada dasarnya hanya kurang 2,5 tahun saja, lebih banyak diharapkan pada persoalan betapa pentingnya tempat sebagai bentuk kepedulian pihak-pihak penyelenggara pemerintahan terhadap (rakyat) seniman-senimannya.
Sorotan lainnya lebih ditujukan pada incompetency person di bidang-bidang eksekutif yang notabene bersinggungan secara langsung dengan wilayah perkebangan seni & budaya. Bahwa dianggap sangat fatal apabila pejabat Kasubdin misalnya di Diknas ternyata kurang mengerti/mewadahi apa saja yang dibuthkan dalam pengembangan seni & budaya di lingkup wilayah kerjanya. Tidaklah cukup apabila metode pengembangan hanya dilakukan dalam rangka Porseni belaka.
Atau juga kesulitan para seniman dalam menyelenggarakan kegiatan kesenian baik dalam hal penggalian dana (yang seringkali dibantu para donatur) dimana pihak-pihak yang semestinya memiliki kaitan erat dalam penyelenggaraan kesenian, (seperti Disparinkom, Dinas P&K) malah sering kali berlaku pilih-pilih dalam membagi sedikit pendanaan. Atau kalaupun ada pasti selalu menggunkan nama pribadi sebagai donatur, bukan atas nama institusi. Dan belum lagi dengan tempat dan segala atribut pelengkap penyelenggaraan kegiatan kesenian, seperti ijin keramaian dan lain sebagainya. Ya, sekali lagi tentang sewa tempat yang mahal.
Pada dasarnya apa yang muncul dari diskusi TEBU ke-4 CAGER dalam wacana tema : RENCANA LEGISLATIF DALAM MENDUKUNG PERKEMBANGAN SENI & BUDAYA DI MASYARAKAT adalah tindakan kongkrit atas kepedulian akan pentingnya pengembangan seni & budaya masyarakat dalam kerangka kerja bersama antar elemen. Termasuk transparansi pengawasan antar elemen dan perbaikan kinerja.
Sebagai kesimpulannya adalah bahwa di Gresik perlu wahana seni & budaya (gedung kesenian). Selanjutnya transparansi penggunaan PAD Gresik yang diketahui sejumlah 115 M (no 2 setelah Surabaya) lewat jalur institusi seni sebagai anggaran kesenian. Tak kalah pentingnya yaitu perlu modul pengawasan yang transparan ke masyarakat atas adanya penyelewengan-penyelewengan birokratis. Dan yang terakhir pentingnya kesadaran melaksanakan fungsi masing-masing elemen untuk saling memahami dan saling mendukung sehingga tercipta dinamika membangun yang sehat.

28.3.09

DKJT DAN FASILITAS KEBUDAYAAN

Senin, 10 Maret 2003
Dewan Kesenian Jatim dan Fasilitas Kebudayaan
KARENA Gubernur Jawa Timur (Jatim) Imam Utomo sendiri yang melantik, maka secara moral gubernur harus mengakui keberadaan Dewan Kesenian Jatim sebagai institusi sah pemangku kebudayaan. Sama sahnya dengan institusi bisnis, institusi olahraga, dan sebagainya.
Kebudayaan mestinya ditempatkan oleh negara sebagai faktor paling penting dalam kehidupan bernegara. Karena semua bangsa yang beradab pasti menganggap kebudayaan adalah roh suatu bangsa.
Bahkan, dalam sejarah terlihat bahwa bangsa-bangsa kuno pun menempatkan kebudayaan sedemikian tinggi. Ini terlihat dari peninggalan-peninggalan kebudayaan yang spektakuler, seperti candi-candi suku Aztec, Inka, dan Maya di Amerika, sphinx dan piramid di Mesir, dan sangat banyak lagi.
Mestinya, kalau Pemerintah Indonesia menjalankan UUD 1945 dengan benar, pasti juga akan melakukan hal yang seperti itu. Karena, dalam UUD 1945 Pasal 32 disebutkan bahwa pemerintah wajib memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
Pengertian wajib memajukan mestinya berkonotasi mengutamakan, dan bukan hanya menempatkan kebudayaan sebagai "pelengkap saja" atau "asal ada saja". Kalau kita perbandingkan antara Indonesia dengan Malaysia-tak perlu membandingkan dengan Perancis atau Amerika Serikat-Indonesia kalah jauh dengan upaya Malaysia memajukan kebudayaan. Padahal, kebudayaan Indonesia sudah lama maju dan tingkat kecanggihan yang tinggi dibanding bangsa lain, termasuk sesama puak Melayu di Malaysia.
Jangankan naskah Desawarnana (Negarakertagama) yang notabene ditulis oleh orang dalam Majapahit sendiri, sedangkan naskah Sejarah Raja-raja Melayu karya pujangga Melayu Semenanjung, maupun Hikayat Banjar yang ditulis oleh pujangga Banjar, Kalimantan, pun memuji sungguh-sungguh bahwa kebudayaan Majapahit (kini boleh disebut sebagai pilar utama kebudayaan Jawa dan Indonesia), merupakan kebudayaan yang canggih.
Dalam semua kitab kuno itu tergambarkan, semua raja-raja atau pangeran dari Nusantara ataupun luar Nusantara, menimba ilmu pemerintahan dan kebudayaan dari Majapahit. Ilmu tata pemerintahan Majapahit yang dijadikan pedoman tata pemerintahan raja-raja Nusantara itu telah dikaji mendalam oleh budayawan Indonesia Mr Mohamad Yamin, dan kemudian ditulisnya dalam sebuah buku yang banyak dijadikan rujukan oleh ilmuwan Nusantara.
Setelah Mataram berdiri, unsur-unsur budaya Majapahit itu dipercanggih oleh Mataram dengan mengambil unsur Islam dari keraton Demak yang ditundukkannya, lalu disenyawakan dengan unsur Hindu warisan Majapahit.
Kebudayaan campuran itu, yang kemudian disebut Kejawen menjadi unsur penting yang menjadikan kebudayaan Jawa begitu rumit dan canggih, yang kemudian kelihatan paling menonjol dibanding kebudayaan daerah lain di Indonesia ketika Republik Indonesia didirikan oleh orang-orang Jawa dan etnis lain Indonesia.
KEBUDAYAAN Jawa Kejawen itu oleh seorang budayawan Malaysia, SM Zakir, dinilai sebagai salah satu warisan kebudayaan agung dunia, sejajar dengan kebudayaan Yunani. Ketika Indonesia semakin kokoh di bawah pemerintahan yang kuat (meskipun korup luar biasa), modernisasi juga merasuki semua unsur kebudayaan, terutama disusupkan oleh seniman-seniman intelektual.
Maka, lihatlah kebudayaan Indonesia modern dianggap berkembang luar biasa ketika Jakarta di tahun 1970-an disubsidi oleh Gubernur Ali Sadikin dengan berbagai fasilitas kebudayaan dan uang yang luar biasa banyaknya. Dan, karena Jakarta yang antara lain dimotori oleh DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) dan intelektual di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) juga merangkul kebudayaan daerah (meski cuma sekadarnya). Namun, kebudayaan daerah pun kemudian berkembang dengan modernisasi yang lumayan.
Akan tetapi, semenjak Ali Sadikin dipecat Soeharto, dan tak ada lagi pejabat yang memperhatikan kebudayaan Indonesia, maka lambat laun bangsa lain, terutama dalam bahasan ini ialah Malaysia dan Singapura, mulai menyalip Indonesia. Misalnya, Malaysia sejak Mahathir Mohammad terpilih menjadi perdana menteri di akhir tahun 1970-an, yang dicanangkannya adalah "Ekonomi Baru Malaysia". Namun, dalam program ekonomi baru itu termasuk pula memajukan kebudayaan.
Oleh karena itulah, di samping memajukan ekonomi Malaysia yang bercirikan: "menomorsatukan hak-hak rakyat pribumi", Malaysia juga mengguyur kegiatan pendidikan dan kebudayaan dengan dana yang luar biasa besarnya. Termasuk mengirim sebanyak-banyaknya mahasiswanya dengan beasiswa dari pemerintah untuk belajar ke luar negeri (termasuk ke Indonesia), dan pembangunan infrastruktur kesenian dan kebudayaan luar biasa banyaknya, bahkan boleh dikata berlebihan.
Saya ambil contoh, jika Pemerintah DKI Jakarta memberi dana untuk DKJ sekitar Rp 2 milyar setahun untuk seluruh komite, Pemerintah Malaysia memberi dana rutin Rp 7 milyar setahun (berdasar buku laporan Gapena tahun 1999 dan kini mungkin sudah diperbesar lagi) kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) pelat merah yang hanya mengurusi sastra tok yang bernama Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (Gapena).
Itu belum termasuk fasilitas gedung yang amat sangat representatif, plus 50 ekar (hektar atau acre?) tanah di daerah Sungai Tekali, Ulu Langat, pinggiran Kuala Lumpur yang boleh disewakan dan hasil sewanya boleh dipakai untuk kegiatan Gapena.
Di samping itu, pemerintah juga menghibahkan 14 unit kilang industri kecil di Bukit Serdang, juga di pinggiran Kuala Lumpur yang ongkos sewanya masuk ke kantung Gapena sebagai dana abadi.
Itu pun masih ditambah dengan berbagai proyek pemerintah yang diorderkan kepada Gapena, plus berbagai sumbangan dari lembaga bisnis, misalnya, bank, perusahaan minyak, dan sebagainya, yang seakan berlomba memberi sponsor kepada Gapena. Gapena juga mempunyai saham di beberapa bank, dan sejak tahun 1999 mendirikan perusahaan Gapeniaga dan Akademi Gapena.
Sudah begitu, Gapena masih berani mengkritisi kebijakan-kebijakan Pemerintah Malaysia yang dipandang merugikan pembangunan kebudayaan Malaysia, terutama kebudayaan Melayu.
KINI kita lihat di Surabaya, Kantor Dewan Kesenian Jatim masih nebeng di Kompleks Taman Budaya Jawa Timur (TBJT). Itu pun konon TBJT-nya akan dijual ke tauke yang ingin mendirikan kompleks bisnis.
Apakah semua dewan kesenian di Indonesia ditelantarkan oleh pemerintah yang lebih tertarik mengurusi bisnis dan intrik politik dan anti-kebudayaan, seakan-akan manusia itu hanya butuh makan persis seperti binatang dan tidak butuh kebudayaan? Hal itu adalah tergantung kesadaran gubernurnya.
Memang, umumnya dewan kesenian di Indonesia ditelantarkan, tetapi di Riau, Lampung, Medan, Samarinda, dan Pontianak, dewan kesenian mendapat perhatian dan guyuran dana dari pemerintahnya. Bahkan, Riau yang paling fantastis dalam hal dana dan fasilitas, mungkin karena mereka mencontoh tetangga dekat mereka, Malaysia dan Singapura.
Di samping itu, karena seniman-seniman Riau memang bergaul sangat dekat dengan gubernur dan para pejabat Riau serta kaum bisnis dan industriwan di sana. Bahkan, beberapa pejabat Riau dan pengusaha Riau berasal dari kalangan seniman, persis seperti di Malaysia.
Di Riau hanya menjadi seniman total saja seseorang sudah bisa hidup, padahal taraf hidup dan harga-harga di Riau sangat mahal, karena proyek seni diadakan bukan hanya tiap minggu, namun hampir setiap hari. Sedangkan event seni yang sangat besar diadakan hampir setiap bulan, yang bahkan mengundang seniman dari Malaysia, Singapura, Brunei, dan Thailand.
Maka, tantangan para pengurus Dewan Kesenian Jatim kini adalah mendekati gubernur dan pengusaha, dan meyakinkan kepada mereka bahwa manusia itu tidak sama dengan binatang. Yang membedakan manusia dengan binatang adalah faktor kebudayaan, faktor lainnya sama saja.
VIDDY AD DAERY, penyair, novelis, dan penulis kolo

Bagaimana dengan nasib DKG (Dewan Kesenian Gresik) ?

24.3.09

CAK MU'AN, PELUKIS DAN BUDAYAWAN GRESIK MENINGGAL DUNIA

Innalillahi wainnaaillaihi roji'uun, telah meninggal dunia dengan tenang, pelukis dan budayawan Gresik Cak Mu'an pada hari senin, 16 Maret 2009 di rumah duka Toko Putih Jl. H. Samanhudi Gresik. Cak Mu'an adalah pelukis seangkatan dengan almarhum OH Supono, Daryono, Amang Rahman, Cak Roeslan juga Pelukis Rudi Isbandi.

Cak Mu'an adalah seniman dan budayawan yang walaupun menjelang akhir hidupnya ia stagnan dalam berkarya, tetapi selalu memperhatikan dan membantu para seniman muda baik secara moril maupun materiil.
Sebagai wong Gresik asli cak Mu'an memiliki beberapa koleksi karya seni dan karya peninggalan yang menjadi saksi sejarah dan budaya Gresik masa lalu. Sehingga beliau sering dikunjungi oleh para budayawan seperti Cak Nun maupun dari mancanegara yang kebetulan membutuhkan jasa beliau dalam menelusuri sejarah dan budaya Gresik untuk bahan penelitian mereka.

Belum Setahun Gresik telah kehilangan seorang pelukis yang telah mengangkat Damar kurung menjadi ikon Gresik dan telah menasional bahkan internasional, yakni Imang AW (untuk mengenangnya klik disini dan disini), kini kita telah ditinggal oleh seorang yang peduli dengan perkembangan budaya Gresik, Cak Mu'an.
Semoga Allah SWT memberikan jalan yang lapang bagi mereka dan mengampuni dosa-dosanya serta menerima amalan-amalan yang telah diperbuatnya. Amin (*Kris Adji AW)

18.3.09

KOTA GRESIK DAN BUDAYA SANTRI

Kota Gresik dan Budaya Santri
Jumat, 6 Maret 2009 9:00 WIB Kategori: Opini
ShareThis
Gresik tidak ubahnya sebuah museum atau tempat penyimpanan artefak Islam semata. Gresik tidak lebih dari sekadar tempat bersemayamnya jasad para waliyullah. Dengan kata lain, seiring dengan wafatnya para waliyullah, perlahan namun pasti redup pula pancaran nilai-nilai Islam dari bumi Gresik.
SANGAT lama Kota Gresik menyandang predikat “Kota Santri”. Entah apa alasannya, sehingga Gresik layak disebut Kota Santri. Apakah karena Gresik dulu merupakan salah satu pintu gerbang masuknya Islam di Jawa Timur, atau karena penghasil kopiah (songkok) yang kerap dijadikan identitas kaum muslim, atau karena Gresik memiliki koleksi makam para auliya (waliyullah) paling banyak ?
Dengan memperhatikan posisi geografis sebagian wilayah Gresik, yang terbentang sepanjang pesisir pantai (Panceng, Sedayu, Bunga, Manyar dan Gresik), tidak dipungkiri, Gresik pernah memiliki peran strategis terkait masuk dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Paling tidak, banyaknya makam para auliya dan para kerabatnya. Daerah itu, minimal pernah menjadi tempat bermukim para penyebar agama Islam di Jawa.
Sebagaimana banyak sejarah mencatat, para penyebar agama Islam di Indonesia bukan mubaligh (penyebar agama) murni. Sebagian besar justru kaum pedagang dan sekaligus sebagai mubaligh. Tidak berlebihan bila kehadiran mereka relatif lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Meski demikian, mereka bukanlah pribadi yang berwatak materialis-kapitalisme. Status mereka sebagai pedagang sekaligus berfungsi sebagai sarana dakwah yang efektif. Keberadaan para waliyullah di Gresik itu tidak semata-mata mengajarkan Islam secara normatif.
Lebih dari sekadar mengajarkan agama (Islam) secara formalis-simbolik, para waliyullah berkemauan keras menata masyarakat Gresik untuk menjadi masyarakat yang memiliki budaya agamis yang tinggi. Jadi, Sejarah Gresik sebagai kota kaum santri seirama dengan perjalanan panjang para pemuka Islam itu.
Identitas SantriSeiring berjalannya waktu, Gresik tidak ubahnya sebuah museum atau tempat penyimpanan artefak Islam semata. Gresik tidak lebih dari sekadar tempat bersemayamnya jasad para waliyullah. Misalnya Maulana Malik Ibrahim, Gunan Giri, Nyai Ageng Pinatih, Sunan Prapen dan sebagainya. Dengan kata lain, seiring dengan wafatnya para waliyullah, perlahan namun pasti redup pula pancaran nilai-nilai Islam dari bumi Gresik.
Penghargaan terhadap para waliyullah, hampir-hampir telah sirna. Yang tersisa hanyalah penghargaan-penghargaan simbolik yang kering makna, diantaranya : khaul, ziarah wali dan sejenisnya yang mewujud dalam tradisi “meruwat makam”.
Sedangkan untuk membangun tradisi “meruwat ajaran waliyullah” tersebut hampir-hampir turut terkubur bersama jasad para wali itu sendiri. Keteladanan akhlak waliyullah yang kemudian mampu mengantarkan Gresik sebagai Kota Santri justru tidak berbekas.
Ironisnya, meski budaya santri telah benar-benar terkubur dalam “gudang sejarah”, predikat Kota Santri tetap dibangga-banggakan. Mengesankan bahwa kebanggaan terhadap predikat tersebut tidak identik dengan kepahamannya. Bukankah secara sosiologis istilah ’santri’ merupakan produk kultural yang memiliki arti “masyarakat agamis”.
Semestinya pencitraan masyarakat Gresik sebagai ‘masyarakat santri’ terkait erat dengan moralitas masyarakat Muslim. Baik dalam moralitas berpolitik, sosial, ekonomi maupun budaya. Perkembangan perilaku kaum muda di Gresik saat ini dapat dikata dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Norma-norma religius hampir benar-benar tercerabut dari akarnya dan bahkan sekarang berbelok arah ke pola budaya hedonis-materialis.
Kaum muda telah banyak menyingkir dari lingkungan masjid atau tempat-tempat yang selaras dengan karakteristik masyarakat santri, dan beralih ke warung remang-remang yang kian hari berkembang kian massif. Tak terkecuali mereka yang masih berstatus pelajar — dan bersekolah di sekolah yang bersimbolkan Islam.
Menemukan kerumunan anak-anak muda (dan pelajar) di warung-warung mesum yang berkedok “warung kopi”, bukanlah hal yang sulit, baik siang ataupun malam hari. Warung-warung yang tersebar mulai dari wilayah Panceng (Gresik Utara) sampai Balongpanggang (Gresik selatan) itu merupakan fenomena lain dari Gresik. Maka bukan hal yang aneh lagi bila pengidap virus HIV/AIDS di Gresik juga tergolong tinggi.
Menjamurnya praktik prostitusi, yang melibatkan kalangan remaja-remaja di bawah umur , dengan kedok warung kopi itu, merupakan indikator bahwa degradasi moral dikalangan kaum muda Gresik sudah berada dalam tahapan yang sangat akut.
Tanggungjawab BersamaApakah kondisi riil kaum muda ini sebagai konsekuensi logis dari Gresik yang juga menyandang status sebagai kota industri? Belum lagi dengan perilaku politisi yang kerapkali jauh dari nilai-nilai religius dalam usaha untuk mewujudkan ambisi politiknya.
Semua mencerminkan bahwa kerusakan mentalitas religius tidak hanya menjangkiti generasi tertentu dan wilayah tertentu saja. Penyebaran penyakit hedonis-materialisme, yang salah satu cirinya menghalalkan segala cara, sudah mewabah.
Terkait dengan identitas budaya, masyarakat Gresik sejatnya dihadapkan pada dua tantangan identitas, yaitu “kota santri” dan sekaligus “kota industri”. Masalahnya, haruslah budaya santri yang sarat dengan nilai-nilai luhur itu harus menjadi tumbal ambisi-ambisi industrial. Atau sebaliknya, mempertahankan kekuatan industrial Gresik namun bisa hidup selaras dengan nilai-nilai luhur dari pesantren.
Tampaknya, tanggungjawab utama berada di pundak seluruh masyarakat Gresik yang masih merindukan nilai-nilai Islami dalam kehidupan masyarakatnya. Sedangkan peran sentral perubahan ada ditangan para elite birokrat dan politik di Gresik. Ditangan mereka inilah, harapan dan tuntutan masyarakat bisa diwujudkan atau bahkan dikuburkan.Selamat HUT Ke-522 Kota Gresik pada 9 Maret 2009.
Abd Sidiq NotonegoroPengkaji Sosial-Keagamaan, dosen Universias Muhammadiyah Gresik

8.3.09

GELAR PAWAI BUDAYA HUT GRESIK 2009

GELAR PAWAI BUDAYA HARI JADI KOTA GRESIK 2009
Takut tidak diakui sebagai kota santri?


Pemkab Gresik merayakan dan memperingati hari jadi kota Gresik ke 522 dan HUT Pemkab Gresik ke 35 dengan mengadakan seabreg kegiatan dan lomba-lomba bahkan bagi-bagi 15 ribu bungkus nasi krawu ( untuk apa ? sekedar sensasi untuk mendapat perhatian rakyat saja atau mampu memjadi solusi bagi sulitnya rakyat menghadapi kebutuhan hidupnya?).
Pada hari kamis, 5 Maret 2009 Pemkab Gresik mengadakan Gelar Pawai Budaya yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat, pelajar, BUMN dan staf kantor dinas di lingkungan Pemkab Gresik dengan membagi acara tersebut menjdi 2 jenis dalam satu waktu, yakni pawai busana daerah dan pawai grup kesenian . Mereka diharuskan jalan kaki ( gak kesel tah ?) alias tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor, kecuali para cak dan yuk Gresik yang diarak naik jip willis ( wah gak adil yaa..).
Untuk peserta pawai busana daerah, mereka mengenakan busana khas Gresik (katanya..) yakni yang pria mengenakan setelan seperti umumnya orang Gresik pergi ke Masjid, sarung, baju koko berkopyah, bahkan ada yang berbusana mirip cak Suroboyo. Ada juga yang pakai baju khas kiai lengkap dengan sorbannya. Sedang yang perempuan mengenakan kebaya jawa, kain sewek dan kudung sarung khas wong Giri. Tetapi ada juga yang mengenakan busana daerah lain seperti bugis, madura dll.
Sedangkan peserta grup kesenian menampilkan berbagai jenis kesenian (yang dianggap) khas Gresik seperti qosidah, hadrah, terbang jidor, jaran jinggo (kuda yang bisa menari dan melakukan atraksi sesuai instrusi pawangnya) tapi nggak ada pencak macan yaitu kesenian khas pesisir Gresik yang menjadi andalan ketika Gresik ikut kompetisi Pemuda Pelopor tahun lalu). Justru reog sebagai kesenian khas Ponorogo tampak lebih menonjol dan menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat Gresik selain grup Drum Band pelajar yang saya hitung ada lebih dari 4 kelompok.
Sekedar apresiasi Kota Santri dan Pawai Budaya
Secara keseluruhan pertunjukan Gelar Pawai Budaya tersebut bagi masyarakat Gresik (perkotaan) cukup sebagai sekedar hiburan tahunan yang bahkan tidak lebih baik dari acara yang sama yang diadakan tahun lalu. Kesan sekedar ada sangat menonjol dibandingkan dengan kesan adanya pembinaan dan pengembangan acara agar kegiatan tersebut berkesan dan mampu menjadi warna khas bagi budaya Gresik.
Ironisnya lagi karena “takut” tidak dikatakan Gresik Kota Santri, para peserta pawai terkesan dipaksakan untuk menggunakan atribut-atribut serta busana sehari-hari masyarakat muslim Gresik yang biasa memakai sarung dan baju koko. Apa iya.. kalo santri itu harus berbusana seperti itu.. wong banyak kok yang lebih santri tapi biasa-biasa saja…, demikian pendapat salah satu penonton yang mengikuti acara tersebut di pinggir jalan. Memang acara budaya yang memakan biaya sebesar itu mestinya dapat memberikan pencerahan baru bagi pengembangan budaya Gresik yang beragam sehingga tidak sekedar kulitnya saja yang bernuansa kota Santri, tapi seluruh gerak kehidupan masyarakat Gresik berbudaya santri.
Barangkali Pemkab Gresik khususnya Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga (BUDPARPORA) tidak perlu lagi merasa lebih pintar dalam mengemas kegiatan yang melibatkan masyarakat, apalagi dalam even yang besar. Mari bersama-sama kita berbesar hati untuk selalu pasang mata pasang telinga, kita dengarkan aspirasi masyarakat dan kita tampung pendapat mereka yang akhirnya menjadi formula bagi perkembangan budaya Gresik yang efeknya barangkali seperti Dinas BUDPARPORA bisa menjual aktivitas budaya masyarakat menjadi obyek wisata.
Cobalah kita menengok (syukur-syukur bisa mengamati dan menjadi bahan pembanding) even yang diadakan oleh saudara kota di Jember Jatim yang telah mengadakan acara pawai keliling kota yang mirip dengan yang diadakan oleh Pemkab Gresik ( tapi lebih bagus yang sanaaa..) sejak tahun lalu dan tahun 2009 ini akan diselenggarakan lagi dengan judul Jember Fashion Carnaval JFC).
Untuk tahun ini sebelum acara diadakan di Jember, panitia mencoba memancing minat masyarakat dari luar Jember dengan mengadakan pawai di Surabaya lebih dulu. Dimana acara pawai diawali dari Gedung Grahadi dan berakhir di Plasa Surabaya dalam rangka usaha memperkenalkan pada masyarakat Surabaya (yang ibu kota Jawa Timur) akan pawai JFC yang digelar tiap Agustus. Mereka mengenakan pakaian beraksen merak dari bahan bekas sebagi cermin bahwa mereka juga peduli lingkungan.
Barangkali jika sekali-kali Dinas BUDPARPORA dengan senang hati membuat forum seminar, diskusi, musyawarah atau sarasehan dengan mengundang para tokoh, seniman, budayawan dan intelektual Gresik untuk bersama-sama diajak mencari solusi untuk memunculkan kekhasan Gresik Kota “Santri” yang tidak sekedar kulit tapi juga isi, mungkin akan muncul berbagai ragam pendapat yang bisa menjadi acuan bagi program budaya ke depan.
Sehingga istilah Gresik Kota Santri tidak lagi menjadi beban sosial yang jalan keluarnya hanya sekedar polesan tampak muka saja tetapi benar-benar menjadi kebiasaan budaya yang benar-benar santri. Karena hakikatnya santri adalah kebudayaan tholabul ilmi. Maka bukan karena tidak bersurban dan berbaju koko kemudian divonis bukan santri ( sampai-sampai pegawai pemkab Gresik diwajibkan pakai baju koko/busana muslim selama seminggu agar terkesan bahwa Gresik adalah Kora Santri) tapi lebih pada sikap dan kebiasaan budaya sebagai santri yang tholabul ilmi, mensyiarkan ibadah dan tempat ibadah, suasana sekolah sebagai tempat menggali ilmu semarak termasuk seringnya muncul ajang diskusi/musyawarah dalam menemukan solusi masyarakat untuk menjadikan masa depan mereka menjadi lebih “santri”.( Kris Adji AW, Pelukis, Budayawan)

2.3.09

LOMBA KARIKATUR DAN PUISI GUS DUR




LOMBA KARIKATUR DAN PUISI GUS DUR SE GRESIK
Minggu, 25 Januari 2009 di Masjid Manba’ul Falah Sidomoro (Masjid Semen Gresik) diadakanlomba Karikatur Gus Dur oleh Pengurus Ranting NU Sidomoro dan DKG. Ketokohan Gus Dur sebagai bapak bangsa serta sepak terjangnya selama ini menjadi sumber ide dalam menampilkan obyek yang unik ini oleh para peserta yang terdiri dari para pelajar dan masyarakat umum di Gresik.
Selain itu juga diumumkan hasil lomba tulis puisi tentang Gus Dur yang nantinya dari 15 puisi terbaik akan dibukukan oleh panitia, termasuk hasil lomba karikaturnya. Demikian penjelasan Rofiq Madji selaku ketua panitia lomba tersebut.
Pelaksanaan lomba dibuka oleh Bapak Wakil Bupati Gresik, Sastro Suwito dan dihadiri oleh Ketua Umum DKG, Kris Adji AW dan para juri lukis Inoeng dan Iskandar Zubair serta juri puisi Mardiluhung dan L. Machali.
Menurut Rofiq, ketua panitia lomba, selain membukukan hasil lomba tersebut, karya-karya para peserta juga akan dipamerkan.