27.12.08

Perlunya Kesadaran Bangsa Serumpun

July 25, 2008
Oleh Viddy A.D. Daery
Indonesia dan Malaysia baru saja membentuk Dewan Pakar atau Eminent Persons Group (EPG) yang diresmikan Presiden SBY dan PM Malaysia Ahmad Badawi di Kuala Lumpur. Forum 14 pakar kedua negara itu bertugas membahas berbagai masalah guna meredakan ketegangan jika kedua negara terlibat konflik.
Menurut Dr Pudentia, anggota EPG dari Indonesia yang membawahi bidang budaya, ketika saya wawancarai via telepon, EPG sedang mengumpulkan berbagai data untuk merumuskan berbagai masalah antara dua bangsa serumpun, yaitu Indonesia-Malaysia, yang sering tampak "tidak mesra".
Pada awal Agustus ini, beliau mengunjungi wilayah Satun, Thailand Selatan, serta Kepulauan Andaman dan Nicobar. Di sana terdapat masyarakat Melayu yang di antaranya adalah keturunan Jawa. Karena itu, di Patani dekat Satun, ada Kota Gerisik, yang di masa lalu sering dikunjungi para pedagang dan ulama Gresik di zaman Sunan Gresik.
Baru-baru ini, Menkominfo Mohammad Nuh dan Menteri Penerangan Malaysia yang baru Datok Ahmad Shabery Chik dengan tim masing-masing bertemu di Hotel Nikko, Jakarta, guna persiapan penandatanganan MoU kerja sama penyiaran dan pers/media massa negara/publik, swasta, berbayar maupun komunitas.
Selain itu, terbuka kemungkinan masyarakat luas dari kedua negara serumpun menyumbang ide dan saran, mungkin terutama dalam hal penekanan penyadaran keserumpunan.
Faktanya, Indonesia-Malaysia merupakan satu saudara sedarah, pernah menjadi satu kerajaan besar Melayu Raya, yaitu pada zaman Sriwijaya abad 7-9 M dan zaman Majapahit abad 13-15 M.
Dalam seminar Bugis di Indonesia-Malaysia baru-baru ini terungkap bahwa Sultan Johor adalah berdarah Bugis, keturunan pahlawan Bugis yang melarikan diri dari Kerajaan Gowa, Makassar, ketika terjadi perang saudara dengan Bone, yang Belanda ikut memecah belah.
Tentu banyak yang tahu Sultan Negeri Sembilan Malaysia adalah keturunan Raja Minangkabau. Juga, terungkap dalam diskusi sastra penyair Selangor, Malaysia, di TIM Jakarta baru-baru ini bahwa raja Kelang, Selangor, adalah keturunan Jawa dari zaman Majapahit.
Belum lagi kalau menelusuri zuriah Sultan Pahang, Perak, dan Kedah yang masih punya hubungan darah dengan sultan-sultan Aceh dan Melayu Deli. Alhasil, memang Malaysia dan Indonesia berasal dari darah yang sama, tetapi kenapa menurut seorang penanya seminar dari Malaysia, "Kok masyarakat Indonesia lebih benci kepada Malaysia daripada Israel dan sebaliknya lebih bangga bersahabat dengan orang Amerika, Eropa, dan Tiongkok daripada bersahabat dengan orang Malaysia? Padahal, TKI mencari makan dengan mudah di Malaysia, sebaliknya dipersulit dan diinterogasi berjam-jam kalau mau masuk Amerika dan Eropa???"
Peran Media Massa
Maka, ada kesadaran bahwa peran media massa sangat ampuh untuk membangun atau sebaliknya menghancurkan kesadaran bangsa. Itu sudah terbukti dalam kisruh Indonesia-Malaysia.
Dalam seminar di Jakarta tersebut, seorang Sekjen Dewan Kesenian Ponorogo mengaku ditelepon berbagai wartawan daerah maupun ibu kota. Dia diprovokasi agar memprotes Malaysia setelah maraknya isu Malaysia mengklaim Reog Ponorogo, padahal kemudian terbukti yang memainkan Reog Ponorogo di Malaysia adalah imigran Ponorogo yang menguasai wilayah Batu Pahat, Johor, sejak disewa Inggris sebagai kuli perkebunan kopi dan karet pada 1800-an.
Demikian juga, penyiksaan TKI Indonesia oleh majikan etnis Tiongkok dan India karena masalah perbedaan agama sehingga ada konflik soal daging babi dan tidak boleh salat yang berujung penyiksaan. Media massa jarang, bahkan 99 persen tidak ada yang menyebut soal majikan etnis Tiongkok dan India sehingga seakan-akan yang menyiksa adalah rumpun keluarga sendiri sesama Melayu/Jawa.
Selain itu, terungkap dalam seminar tersebut, Indon adalah sebutan sayang, bukan sebutan menghina. Bahkan, para TKI di Kuala Lumpur bangga dan menyebut diri mereka Indon untuk membedakan diri dengan Filipino dari Filipina dan orang Thai atau Siam dari Thailand atau orang Cham dari Kamboja karena wajah dan postur mereka sama persis dengan Indonesia. Tentu juga sama dengan orang Melayu Malaysia. Sesungguhnya dalam bahasa antropologi, mereka semua adalah satu ras besar Austronesia atau Austro-Polinesia.
Satu Rumpun Besar
Dengan demikian, pertemuan kerja sama dua menteri penerangan Indonesia-Malaysia bisa berarti hendak memupuk lagi kesadaran persaudaraan dan kekeluargaan satu rumpun besar. Sebab, memang sejak reformasi, semua tatanan hancur berantakan, digulung gelombang perubahan tanpa skenario dan semua meneriakkan hak masing-masing, terutama penonjolan hak-hak kaum minoritas sambil mengeliminasi atau menyepelekan hak masyarakat luas.
Apalagi terbukti dari beberapa dokumen yang ditemukan, perjuangan hak kaum minoritas itu didanai besar-besaran oleh yayasan-yayasan Zionis dari luar negeri. Karena itu, mereka tidak pernah kehilangan nyali dan tenaga untuk menantang perang kaum mayoritas.
Kalau kita ingat pada 1950-an, film-film Malaysia sangat digemari penonton Indonesia dan poster-posternya terpampang berminggu-minggu di bioskop-bioskop kecil di seluruh pelosok Indonesia. Sebaliknya, film-film Indonesia juga disukai penonton Malaysia dan posternya berkibar-kibar di pawagam-pawagam (bioskop kuno) seluruh negara bagian Malaysia.
Di layar TVRI dan RTM-1 Malaysia, setiap bulan ada siaran bersama Titian Muhibbah sepanjang pemerintahan Orde Baru. Tetapi, kini semua itu musnah ditelan prahara reformasi yang ditumpangi para penumpang gelap. Padahal, bisa saja di dalamnya ada niat tersembunyi untuk menghancurkan bangsa Indonesia.
Viddy A.D. Daery , anggota tim ahli analis media staf khusus Menkominfo di Jakarta (Jawa Pos)Tags: , ,

Peranan interaksi sosial dalam kesenian

Ditulis pada Oktober 2, 2007 oleh brangwetan
Interaksi antara seniman Jawa Timur dengan seniman Yogyakarta, Bandung, Jakarta, dan kota lainnya berpengaruh pula terhadap perkembangan kesenian modern di Jawa Timur. Menurut Rudi Isbandi, salah satu penyebab seni rupa Jawa Timur bercorak dan bergaya beragam adalah seringnya interaksi sosial antara seniman Jawa Timur dengan di luar Jawa Timur. Begitu pula pola hubungan antara seniman di kota atau kabupaten satu dengan kabupaten lainnya berpengaruh terhadap perkembangan kesenian modern di Jawa Timur. Akibat interaksi sosial para seniman di Jawa Timur itulah menyebabkan kantong kantong seni rupa dan kesenian lainnya di daerah berkembang. Beberapa kota dan kabupaten yang berkembang setelah “bersentuhan” dengan seniman Surabaya dan nasional adalah Kabupaten Banyuwangi, Malang, Madiun, Tuban, Lamongan, Tulungagung, dan Gresik.
Banyuwangi ada pelukis Moses Misdi yang kuat dengan lukisan perahunya yang ekspresionis. Pengaruh Moses di Banyuwangi dan sekitarnya sangat kuat sekali. Moses Misdi adalah pelukis senior Banyuwangi yang sangat sering pamer lukisan di Jakarta dan Surabaya. Dan bahkan ikut pamer lukisan ke luar negeri. Moses Misdi adalah tokoh seni lukis ujung Jawa Timur yang mempunyai reputasi nasional. Kemudian ada juga pelukis senior yang otodidak Bani Amora. Banyuwangi diperkuat pula oleh pelukis Djoko Sutrisno, S Yadi K, Sarwo Prasojo, Elyezer, dan Huang Fong. S Yadi K adalah finalis Phillips Moris Arts Award 1997. Dia adalah seorang pelukis kuat di Banyuwangi. Huang Fong merupakan pelukis Banyuwangi yang sangat terkenal di Bali dan nasional. Lukisan Huang Fong yang halus, realis, dan menggunakan media campuran antara crayon, pinsil, cat minyak, dan cat air berpengaruh besar di banyuwangi, Bali, Malang, dan Surabaya. Huang Fong juga pelukis nasional yang kuat sekali pengaruhnya di Banyuwangi dan Bali.
Di Banyuwangi juga dihuni penulis sastra Jawa dan penulis cerpen senior seperti Sasmito Esmiet. Sasmito Esmiet selain dikenal sebagai penulis sastra Jawa juga seorang penggerak kesenian di Banyuwangi. Kota Batu dan Malang memunculkan pelukis kuat yaitu Kubu Sarawan, Satar, Dadang Rukmana, Anthoni Wibowo, Slamet, dan Badri. Pola surealisme Kubu Sarawan sangat kuat sekali pengaruhnya di kalangan pelukis muda Malang Raya (Kota Batu, Kabupaten Malang, dan Kota Malang). Gaya surealisme Kubu Sarawan menjadi salah satu gaya pelukis Malang Raya dan bahkan banyak juga mempengaruhi pelukis muda Surabaya. Pengaruh surialisme di Malang Raya ini diramaikan oleh model surialisme Ivan Sagito. Ivan Sagito tinggal di Yogyakarta, tetapi pengaruh surealismenya kuat sekali di kalangan seni rupa Malang Raya, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik. Begitu pula pola ekspresionisme Anthoni Wibowo dan Satar sangat kuat sekali mempengaruhi perkembangan seni rupa di Malang Raya. Di Kota Malang juga tinggal pelukis Bambang A.W. Pelukis kelahiran Banyuwangi ini menjadi salah seorang pelukis penting di Malang. Di Kota Malang juga tinggal para penulis cerpen dan novel perempuan seperti Ratna Indraswari Ibrahim.
Kabupaten Tuban ada tokoh pelukis Mas Dibyo. Semula Mas Dibyo studi di Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Surabaya (sekarang Unesa) dan banyak berkarya di Surabaya. Setelah kuat dengan gaya ekspresionismenya Mas Dibyo kembali ke asalnya, Tuban. Di Tuban inilah Mas Dibyo bersama sama pelukis muda lainnya mengembangkan seni rupa modern Tuban. Kesenian di Tuban berkembang tidak semata-mata karena ada pelukis Mas Dibyo. Para seniman Tuban sangat intensif berdiskusi, berdialog, dan belajar dari para seniman Surabaya, Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta. Tidak heran kalau pelukis, teater, dan penyair Tuban kemudian berkembang sangat cepat.
Tulungagung diperkuat oleh tokoh seni rupa Mulyono. Mulyono merupakan tokoh seni instalasi yang telah mempunyai reputasi internasional. Mulyono studi di STSI ”ASRI” Yogyakarta. Dia adalah salah satu tokoh dalam gerakan seni rupa Yogyakarta “Kepribadian Apa?”. Mulyono berusaha mengembangkan konsep kesenian sebagai metode untuk memberikan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat. Kesenian dianggap sebagai metode untuk membuka kesadaran masyarakat atas posisinya yang tertindas, posisi bawah, dan teralienasi. Karena itu dengan kesenian rakyat berusaha disadarkan atas kelas sosial dan eksistensi dirinya. Berbagai macam kesenian rakyat dia sentuh, seperti seni jaranan. Kemudian menyentuh para buruh, anak anak gelandangan, petani, dan masyarakat lainnya dengan seni instalasi. Di Tulungagung juga ada pelukis Widji Paminto R dan Sigit Priananto. Mereka berbeda dengan Mulyono, tetapi sebagai perupa modern Tulungagung saat ini sangat kuat.
Di Kabupaten Bojonegoro muncul perupa Gatot Widodo sedangkan di Nganjuk Djoko Sutrisno. Di Kabupaten Pasuruan ada pengaruh Surabaya sehingga muncul pelukis M Badrie dan Wahyu Nugroho. Sementara itu di Lumajang terdapat pelukis Wijanarko dan di Ponorogo muncul pelukis Mas Pur. Kabupaten Blitar ada Bondon Widodo dan di bidang sastra muncul penulis kuat yaitu Bagus Putu Parto.
Kesenian modern Gresik banyak dikembangkan oleh para tokoh kesenian yang beragam dalam pendidikan dan jenis keseniannya. Beberapa tokoh tersebut adalah Lenon Machali (teater), Kris AW (pelukis), Tiko Hamsyah, Imang, dan H.U. Mardiluhung (satra). Menurut Mardiluhung sastra di Gresik berkembang dimulai dengan sastra lisan model macopatan yang dikemas dalam bentuk Babat Kroman. Sastra lisan berpengaruh besar dalam sastra tulis Gresik sehingga mempengaruhi tulisan sastrawan Gresik modern Tahun 1950-an, seperti Pak Coni, Suwandi Indra Kusuma. Sedangkan para sastrawan Tahun 1970-an, seperti Sutanto Spehiadhy, Lennon Machali, dan Imang AW lebih banyak dipengaruhi sastra modern nasional dan internasional. Begitu pula para penulis Gresik Tahun 1980-an dan 1990-an seperti H.U Mardiluhung, Siwur, Indrianti Kusuma, Retra, Bor, Pea lebih banyak pengaruh sastra nasional dan internasional.
Sementara itu di Ngawi ada penyair Tjahjono Widarmanto. Tjahjono Widarmanto dan saudara kembarnya Tjahjono Widianto merupakan penyair dan penulis esei sastra kuat di Ngawi. Bahkan mereka berdua merupakan penyair Jawa Timur yang kuat sekali. Di tingkat nasional penyair kembar ini merupakan penyair muda yang potensial dan mempunyai posisi khusus dalam perkembangan sastra nasional. Di Kabupaten Madiun ada penulis cerpen kuat yaitu Beni Setia. Penulis yang lahir di Jawa Barat, orang Sunda, merupakan penulis yang produktif dan kuat sekali. Beni Setia bersama Tjahjono Widarmanto dan Tjahjono Widianto merupakan penulis kuat dan berpengaruh di tingkat Jawa Timur dan nasional. Mereka mengembangkan sastra disekitar Madiun hingga Ngawi.
DIarsipkan di bawah: Peta Kesenian

Takut Malaysia Patenkan Kesenian Hadrah Bawean

12-09-2007 Perjuangan Warga Boyan Melestarikan Tradisi di Negeri Jiran Para perantau asal Bawean sudah beberapa generasi bermukim di Malaysia. Bahkan, sebagian besar di antara mereka telah melepas status sebagai warga negara Indonesia. Namun, dengan berbagai cara, para perantau itu tetap berusaha mempertahankan tradisi nenek moyang mereka. KOMUNITAS orang Bawean di Malaysia biasa disebut dengan orang Boyan. Mereka tersebar di hampir seluruh negeri (negara bagian). Warga pulau kecil yang berlokasi di Jawa Timur itu tergolong sebagai perantau awal di negeri jiran. Bahkan, sebelum negara Malaysia berdiri. Ada yang baru dua generasi, tapi ada juga sudah empat generasi. Nasib mereka pun beragam. Ada yang jadi abdi negara di kantor pemerintahan Malaysia sampai pekerja kasar.Saat ini, sedikitnya ada 120 ribu orang Boyan di Malaysia. Mereka tergabung dalam Persatuan Bawean Malaysia (PBM). ’’Sebenarnya, anggota PBM 40 ribu orang saja. Sebab, yang jadi anggota yang sudah jadi warga negara Malaysia. Sementara, 80 ribu masih anggota istimewa karena masih berstatus warga negara Indonesia (WNI),’’ kata Supiyati Mat Har, ibu enam anak asal Bawean yang sudah sejak usia 4 tahun menetap di Malaysia.Begitu banyaknya warga Bawean di Malaysia, mereka sampai membentuk perkampungan-perkampungan. Misalnya, di kawasan Gombak, Kuala Lumpur, yang memang dikenal sebagai kawasan Boyan. Baju boleh Malaysia, tapi adat Bawean tak boleh musnah. Itulah semboyan komunitas Boyan. Mereka berpegang teguh pada warisan nenek moyangnya. Mulai kesenian, cara berkomunikasi, dan simbol-simbol kehidupan lain. ’’Adat-istiadat itu penting karena ini warisan nenek moyang. Makanya, orang tua selalu meneruskan kepada anak-anaknya meski anak-anaknya sudah jadi warga negara Malaysia,’’ tutur Yati, panggilan Supiyati.Misalnya, seni hadrah atau yang biasa disebut kompangan oleh penduduk Malaysia. Seni menabuh terbang, sambil menyanyikan lagu-lagu Islami itu, tetap menjadi bagian penting warga Bawean. Dalam setiap acara perkawinan atau hajatan lain, komunitas Bawean seakan wajib menampilkan kesenian tersebut. Karena itu, di Malaysia kelompok hadrah mencapai 47 grup. ’’Itu yang tercatat karena sempat dilombakan di sini. Tapi, bisa jadi jumlahnya lebih dari itu,’’ kata Tabrani bin KH Ahmad Rawi, tokoh masyarakat Bawean di Malaysia.Pria 58 tahun yang bekerja sebagai kontraktor itu mengepalai sebuah kelompok hadrah yang diberi nama Miftahul Ulum. Kelompok tersebut memiliki 150 orang anggota. ’’Mayoritas anggota kami sudah warga negara sini. Kelompok kami berdiri sejak 1980-an,’’ tutur Tabrani.Seni hadrah tidak sekadar menjaga warisan nenek moyang. Dari kesenian itu, kelompok-kelompok hadrah mampu mendapatkan keuntungan cukup banyak. Bahkan, sebagian kelompok menyumbangkan hasil manggung untuk membangun tanah kelahirannya, Bawean. Contohnya, kelompok Miftahul Ulum. Hampir setiap bulan mereka menyisakan hasil manggung untuk mendirikan dan membiayai sebuah madrasah. ’’Alhamdulillah, kami bisa bantu tsanawiyah di Desa Sukaoneng, Tambak, Bawean. Kami kirim Rp 4 juta untuk membantu guru-guru di sekolah itu,’’ ucap bapak tiga anak tersebut.Selain itu, Miftahul Ulum mampu mendirikan sebuah masjid di kampung halaman Tabrani. ’’Selama dua tahun, kami mengumpulkan RM 80 ribu (sekitar Rp 200 juta) untuk membangun masjid,’’ ungkapnya. Dia tidak bisa memastikan berapa banyak pundi-pundi ringgit dikumpulkan Miftahul Ulum setiap bulannya. Yang pasti, dalam seminggu, kelompoknya bisa manggung dua kali. Sekali tampil, kelompok hadrah paling tidak mendapatkan bayaran RM 400 (sekitar Rp 1 juta). ’’Tergantung banyak sedikitnya personel yang kami bawa. Kalau lebih banyak, harganya lebih tinggi,’’ tandasnya.Tabrani yang tinggal di Malaysia sejak 1975 menuturkan, orang tua harus sedikit memaksa anak-anaknya untuk belajar tentang warisan Bawean. Sebab, mereka menganggap budaya asal tanah kelahirannya tersebut masih lebih baik daripada budaya anak muda zaman sekarang. ”Mengajak anak muda untuk belajar budaya Bawean memang sedikit susah. Selain mereka sudah warga negara Malaysia, anak-anak juga sudah terpengaruhi budaya luar. ”Tapi, kami tetap berusaha mengajarkan kepada anak-anak. Sebab, semacam kesenian hadrah kan anak-anak dikenalkan cerita-cerita nabi dan keteladanan lainnya,’’ tutur Tabrani yang tinggal di Kampung Cangkat, Gombak.Karena itu, untuk membuat anak-anak muda Bawean tertarik, banyak kelompok hadrah yang memodifikasi lagu-lagu dangdut atau pop yang cukup terkenal. Misalnya, lagu Putri Panggung yang dipopulerkan oleh pendangdut Uut Permatasari. ’’Kami mengganti lirik lagu itu dengan bacaan-bacaan cerita keteladanan nabi dalam buku Barzanji,’’ kata Syarifudin bin Zairasy, pimpinan kelompok hadrah Raudattul Muttaqien.Untuk membentuk grup, komunitas Bawean masih bergantung pada Indonesia. Mereka masih menggunakan peralatan musik dari negara asalnya. ’’Suara terbang dan peralatan lain di Malaysia beda dengan di Indonesia. Suaranya alat-alat dari Indonesia lebih bagus. Makanya, kami harus impor dari Indonesia,’’ tutur Syarifudin lantas tersenyum.Hadrah bisa dibilang naik daun di Malaysia. Kelompok komunitas Bawean tidak hanya tampil di kampung-kampung untuk hajatan warga. Kini, mereka juga langganan diundang pemerintah Malaysia. ’’Kami sering tampil di semacam kantor-kantor dinas. Hingga main di gedung DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)-nya Malaysia. Setiap tahun, pemerintah Malaysia juga mengadakan festival hadrah tingkat nasional,’’ ucapnya.Bahkan, sekarang, banyak penduduk asli Malaysia yang membuat grup hadrah. Meski cara bermainnya sedikit beda dengan hadrah dari Bawean, Syarifudin tetap khawatir. “Bagaimana kalau kesenian ini akan dipatenkan oleh Malaysia,’’ ujar pria 39 tahun itu. Selain kesenian, komunitas Bawean di Malaysia juga masih kukuh mempertahankan bahasa daerahnya (bahasa Madura dialek Bawean). Orang tua juga seakan memaksa anak-anaknya yang sudah menjadi warga negara Malaysia tetap menggunakan bahasa ibu mereka.Kata dia, komunitas Bawean di mana saja seperti itu. Tak hanya di Malaysia. Di Singapura komunitas Bawean juga berkomunikasi dengan bahasa Bawean. ”Bahkan, ada yang tidak bisa bahasa Indonesia. Sebab, sejak lahir, anak-anak mereka hanya menggunakan bahasa Bawean dan bahasa Inggris,’’’ tutur Yati. Yang menarik, dari segi kebangsaan, anak-anak dari pasangan orang tua Bawean itu sudah merasa bagian yang tidak terpisahkan dari Malaysia. Mereka lebih cinta negara kelahirannya daripada negara orang tuanya.’’Itu kelihatan kalau sedang ada pertandingan sepak bola atau bulu tangkis. Saat nonton bareng, anak-anak selalu membela tim Malaysia, sedangkan orang tua dukung Indonesia. Sehingga, kadang-kadang bergaduh,’’ kata Tabrani, lantas tertawa lepas.(*)

26.12.08

Ketika Sang Penyair Memainkan Gambar

 

 

JIKA sang penyair sudah mulai "bosan" merangkaikan kata-kata, maka ia mulai menuangkan inspirasinya secara visual melalui coretan kanvas. Apa sebenarnya yang bisa dimaknai dari rangkaian coretan kuas sang penyair ini? Sang penyair dalam dunia kepenyairan telah menjadi bagian dari prosa kehidupan itu sendiri, sehingga karya-karya mereka bebas memasuki ideologi sastra itu sendiri, termasuk kehidupan yang melingkupinya.

Namun, bagaimana setelah sang penyair memasuki ideologi seni rupa dan karya-karya mereka berupa gambar yang sekarang ini menempel dan menghiasi dinding ruang pameran, persoalan yang menggelitik adalah sejauh mana karya gambar sang penyair itu mengusung ideologi kepenyairan.

Dalam dunia kepenyairan sebuah kata bisa bermakna amat strategis dalam melahirkan sentuhan karya sajak, puisi, ataupun prosa. Bahasa ungkap melalui gambar telah pula menarik-narik kepenyairan seseorang untuk bermain-main dengan bahasa seni rupa. Bahasa tulis maupun bahasa lisan itu telah dituangkan dalam bahasa visual di atas kanvas.

Jika seorang penyair seperti Rusdi Zaki mengungkap bahasa visual berupa huruf arab Yak atau Sin, misalnya, ideologi kepenyairan terasa kuat bersentuhan dengan ideologi seni rupa. Bahasa visual yang digarap oleh Rusdi Zaki memberikan pemaknaan universal terhadap berkesenian dan berkebudayaan.

Bermain-main dengan gambar (sebut lukisan), misalnya sebagai bahasa ungkap yang belakangan ini menyeret para penyair untuk ikutan menggelar pameran seni rupa bertajuk "Pameran Gambar Para Penyair". Pameran yang berlangsung di Galeri Surabaya (GS), Dewan Kesenian Surabaya (DKS), Kompleks Balai Pemuda Surabaya ini menjadi fenomena amat menarik untuk dicermati.

***

TIDAK kurang sembilan orang penyair terlibat dalam pameran gambar para penyair itu. Selain Rusdi Zaki, terdapat pula M Anis, HU Mardiluhung, Widodo Basuki, Sabrot D Malioboro, Toto S Nata, M Jupri, Syaiful Hadjar, dan Harjono WS. Mereka mencoba hadir dengan bahasa ungkap visual.

Memasuki ruang seni rupa (sketsa, gambar, drawing, dan lukis-Red) hasil kreativitas para penyair ini, menurut Tiko Hamzah, perupa yang bertatus pengajar (dosen) seni rupa sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya, unsur-unsur verbalistik, naratif, dan visual dalam karya mereka terasa sekali. Ia, misalnya, mengambil contoh karya gambar berjudul Senjakalaning Resi Bimo, terkandung visual-naratif.

Jagad seni rupa tak saja menyeret para penyair untuk melahirkan karya-karya gambar, komunitas anak-anak pun telah masuk dalam ruang seni rupa. Ruang seni rupa tampaknya menjadi magnet yang dahsyat untuk sebuah pertaruhan eksistensi.

Jika pameran gambar para penyair ini hendak mempertaruhkan sebuah eksistensi, tentunya ideologi kepenyairan yang mereka sentuhkan di dalam bahasa visualistik (gambar) memberikan pemaknaan hendak menuju ke arah mana sang penyair dalam pengembaraannya.

Widodo Basuki, salah seorang penyair menandaskan, pameran gambar para penyair ini hendak membangun wacana baru dalam pengembaraan kesenian. "Ada pengembaraan, ada nurani, dan kejujuran," katanya.

Terlampau berlebihan jika mempertaruhkan nurani dan kejujuran dalam karya gambar yang telah mereka lahirkan. Nurani dan kejujuran bukan ungkapan puitik bila bersentuhan dengan pamrih ing pandum. Dari pameran ini, setidaknya kota arek-arek disuguhi keseriusan sang penyair dalam bermain-main dengan ideologi seni rupa.

WS Rendra dalam puisinya, bertutur: Bila aku kosong, aku bebas dari kebiasaanku. Bila aku kosong, nurani akan menjelma. Bila otot-otot kosong, nurani akan menjadi tenaga. Bila hati kosong, nurani akan menjadi api.

Bila pikiran kosong, nurani akan menjadi kesadaran. Adapun inti nurani adalah prana. Di dalam kosong, prana memenuhi pusar. Mutlak pasrah kepada prana, akan menemu guru sejati. Orang yang bijaksana itu kosong, hanya prana pusarnya.

Pendekar utama itu kosong, tanpa tipu, tanpa rencana. Pasrah pada prana, ia bertindak dan menanggapi. Tak ada lawan, tak ada bahaya, tak ada rayuan, tak ada ancaman, tak ada pula kematian, yang ada hanyalah prana. Inilah artinya, ia lebur dalam tenaga alam, dalam gerakan alam, dan dalam kesadaran alam. (tif)

WARNA WARNI PELUKIS GRESIK DI GALLERY DKS

"Kucing Perempuanku" di Balai Pemuda

 

Surabaya, Kompas - Upaya mengembalikan fungsi Balai Pemuda memang sedang dirintis, namun kegiatan-kegiatan di bidang budaya, seperti pameran lukisan, sudah tidak asing lagi. Sebuah karya lukis berjudul Kucing Perempuanku merupakan andalan pelukis Tiko Hamzah, satu dari sembilan pelukis asal Gresik yang berpameran di Balai Pemuda Surabaya.

Para pelukis Kota Pudak ini sudah mulai berpameran tanggal 28 Agustus dan baru berakhir hari Jumat (6/9) di Gedung Merah Putih. Mereka yang ambil bagian dalam pameran bareng bertema "Warna-warni Sembilan Pelukis Gresik" ini adalah Achmad Husaini, Agus Anto, Anny Djon, B Sutopo, Hannavy, Sa'dan Abdullah, Mamad Syafi'i, Soliek Emer, dan Tiko Hamzah.

Henri Nurcahyo, pengamat seni dalam katalog pameran mengatakan, apa pun hasil yang dapat dicapai oleh para pelukis Gresik ini, setidaknya inilah potensi Gresik. Masa depan Kota Gresik bukan tidak mungkin ada di tangan mereka. "Ada semacam tantangan yang menghadang, apakah mereka berniat membuat sejarah atau menyerah untuk digilas oleh sejarah. Itu saja," katanya.

Berbagai corak lukisan mereka dipamerkan, mulai dari naturalis, realis, surealis, sampai ekspresionis-abstrak. Yang tampak menonjol antara lain karya Tiko Hamzah Kucing Perempuanku, pastel di atas kanvas, berukuran 86 cm x 100 cm. B Sutopo di antaranya menghadirkan karya berjudul Pedesaan, cat minyak di atas kanvas, berukuran 145 cm x 90 cm. Soliek Emer mengedepankan karya Kampung Nelayan, cat minyak di atas kanvas, 100 cm x 150 cm. Sedangkan Hannavy mengedepankan lukisan Ritme Sebuah Symphoni, di atas kanvas berukuran 90 cm x 110 cm.

Karya Tiko

Mencermati karya Tiko yang sehari-hari juga berprofesi sebagai penjual batu permata itu, penikmat seni rupa seolah-olah diajak untuk menikmati imaji-imaji terhadap eksotisme bentuk perempuan dengan wajah kucing berkacamata.

Romantisme sang perupa terhadap perempuan setidaknya memberikan gambaran sekilas mengenai seekor kucing yang suka mencakar dan mencuri ikan. Bisa jadi, tatkala melahirkan ide perempuan kucing itu, Tiko sedang menjalani romantika kehidupan serba romantis tetapi penuh dengan misteri yang sering membuat kaum lelaki terluka karena dicakar, misalnya.

Jika Tiko menggelorakan imaji mengenai Kucing Perempuanku, sebaliknya dengan B Sutopo dalam karyanya bertitel Alam Pedesaan yang digarap dengan apik lewat media cat minyak. Ruang karya seni yang coba dia hadirkan teramat kental dengan suasana keseharian penduduk desa, termasuk lingkungan tempat tinggal mereka yang teramat sederhana.

Mencermati karya lukis itu, penikmat seni seakan-akan mendapati estetika kehidupan penduduk dengan lingkungannya yang masih terjaga. Ada sungai di tepi jalan yang indah, sementara cikar (moda transportasi) yang ditarik dua ekor sapi memperkaya identifikasi alam pedesaan yang tradisional.

Dari ruang tradisional yang terbangun melalui karya Sutopo, penikmat seni lalu mendapat sentuhan karya bernuansa kehidupan modern ketika berhadapan dengan karya-karya Hannavy, sebagaimana karyanya berjudul Alone, media mixed berukuran 110 cm x 90 cm yang mencitrakan kehidupan perempuan masa kini. (TIF)

DEMO ANTI GOLPUT

HOME / KABAR PEMILU
Rabu, 26 November 2008
Puluhan Seniman Aksi Anti Golput
Gresik, Rabu (26/11) - Puluhan seniman yang tergabung dalam Dewan Kesenian Gresik (DKG) menggelar aksi jangan pilih politisi busuk di alun alun setempat, Rabu (26/11), dan dalam aksi juga mengingatkan masyarakat agar tidak golput pada pemilu 2009, dan memilih partai politik (parpol) yang bisa memperjuangkan aspirasi rakyat.

"Pemilu adalah ajang memilih caleg baru, dan presiden baru masyarakat harus menggunakan hak pilihnya, kalau mereka golput terus bagaimana akan bisa merubah kondisi bangsa yang carut marut ini," tanya Ketua DKG di sela-sela aksinya itu.

Selain membagikan selebaran kepada pengguna jalan yang intinya rakyat jangan asal pilih parpol, mereka juga sempat menggelar aksi teatrikal dengan sosok Bagong dalam lakon pewayangan, mereka perankan sosok Bagong itu dengan perut besar, hidungnya seperti pinokio.

"Wali Songo dulu itu membuat seni budaya pewayangan dengan menampilkan bagong ternyata ada maksudnya, sebetulnya para wali ini menyindir orang yang ingin hidup enak tapi malas tidak mau susah bekerja. Bagong itu sendiri asal katanya diambil dari bahasa Arab, yaitu bago yang artinya lacut, yakni orang yang senang hura-hura tapi tidak mau kerja keras dan suka mengambil hak orang lain, kita sengaja mengambil sosok bagong ini karena ulah para politisi seperti bagong, mereka mau uang rakyat tapi tidak aspiratif," tambah Tiko Hamzah.

Dosen UPN Surabaya ini melanjutkan, DKG akan menentukan dukungan pada parpol yang berjuang membela aspirasi rakyat, juga aspirasi seniman di Gresik. Sebab selama ini masih belum ada parpol yang peduli dengan komunitas seniman tersebut.

"Setiap tahun kita mengusulkan ke DPRD agar mereka peduli pada nasib seniman, dengan cara mengalokasikan anggaran dari APBD untuk DKG tapi hasilnya nol sampai sekarang, kami berharap parpol peserta pemilu mendatang, caleg-caleg yang berhasil duduk di kursi dewan harus mempejuangkan nasib DKG," ungkapnya seraya menegaskan DKG akan selekstif untuk mendukung parpol tertentu.

Sementara itu aksi teatrikal DKG tersebut menjadi tontotan warga sekitar Jl. KH. Wahid Hasyim, juga pengguna jalan yang melintas di jalan tersebut, bahkan tampak beberapa pengguna jalan sempat meghentikan kendaraannya, untuk melihat dari dekat aksi teatrikal itu. 9/yan/kp004

23.12.08

festival seni demokrasi dkg dan kpud gresik

12/22/03 3:50:26 AM
Oi Gresik mendapat penghargaan

Salam Oi...Selamat utk teman2 Oi Gresik (JATIM) yang menjadi Juara Pertama dalam acara Festival Musik Rakyat (Festival musik demokrasi) yg diadakan Dewan Kesenian Gresik (DKG) & Komisi Pemilihan Umum.http://www.oigresik.tk

musyawarah seniman gresik memilih pengurus dkg

Kris Ketua Baru DKG (2007-04-16 12:40:22)
Pelukis asal Gresik yang namanya telah diakui di dunia seniman nasional, Kris Adji AW terpilih sebagai Ketua Dewan ...
Pelukis asal Gresik yang namanya telah diakui di dunia seniman nasional, Kris Adji AW terpilih sebagai Ketua Dewan Kesenian Gresik (DKG) pada musyawarah seniman Gresik yang digelar pada hari Minggu, 15 April 2007. Dengan terpilihnya ketua baru dalam DKG yang sempat terhenti 1 tahun 6 bulan ini diharapkan dapat membangunkan kembali forum seniman Gresik dan menjadikan DKG sebagai wahana kerja para seniman. Dalam waktu dekat, Kris akan menghubungi pihak Pemkab Gresik untuk meminta ijin penggunaan Gedung Nasional Indonesia (GNI) yang berada di jalan Pahlawan sebagai sekretariat DKG.

Ketua DKG Terpilih

Gresik
Setelah sempat terhenti selama 1 tahun 6 bulan, Tim Formatur Dewan Kesenian Gresik (DKG) akhirnya berhasil menggelar musyawarah seniman Gresik guna memilih pengurus baru. Pada musyawarah di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Jl Arief Rahman Hakim, Minggu (15/4/2007), Kris Adji W terpilih sebagai ketua secara aklamasi.

Usai terpilih, Kris berjanji akan melakukan perubahan mendasar. Di antaranya menjadikan DKG sebagai wahana kerja bagi para seniman. Selain itu, ia berjanji akan ke pemkab untuk meminta agar Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Jl Pahlawan dapat dijadikan Sekretariat GKG.
"Supaya terhindar dari tuduhan politisasi, saya akan merangkul semua kelompok seniman untuk berkesenian melalui DKG," kata Kris, pelukis yang pernah menggelar pameran tunggal di Bandung, Surabaya dan Gresik itu.

Menanggapi terpilihnya Kris, penyair Umardi Luhung, menggugah pertanggungjawaban dari permusyawaratan itu. Menurut dia, nantinya bentuk pertanggungjawaban ketua terpilih dan pengurus kepada siapa. "Kepada forum atau seniman Gresik? Tetapi saya tetap berdoa, semoga DKG di bawah kepemimpinan Kris Adji berjalan baik," tambahnya.
Pelukis Tiko Hamzah justru optimistis sosok Kris Adji mampu menjembatani penyair-penyair `garis keras` Gresik yang punya kecenderungan menolak DKG. "Aku yakin Kris bakal mampu jadi penengah," ujarnya.san

22.12.08

Masih Perlukah Dewan Kesenian Gresik?

Minggu, 8 April 2007
Pemateri :
Syaikhu Busiri
** Pengurus DKG Periode I dan juga Aktivis P2PT2A.
Kris Ajie A.W
** Sebagai Guru Seni Rupa di SMA NU 1 Gresik, Seniman Lukis Gresik Dan juga Pengurus DKG Periode I
Jalan panjang Dewan Kesenian adalah bagaimana menemukan perumusan yang tepat berada di tengah-tengah antara masyarakat seni, masyarakat umum dan para pengendali kebijakan. Perjalanan Dewan Kesenian Gresik (DKG) yang terseok-seok lebih diakibatkan oleh belum adanya titik temu yang bisa menjadi awal gerak atau rumusan platform setiap agenda besar atas gerak kesenian di Gresik.
DKG yang pernah ada masih dipandang belum mampu menangkap geliat dan delagat kemasyarakatan melalui media kesenian. Masih juga belum ditemukan rumusan yang tepat untuk mencatat setiap elemen kebudayaan. Bik itu inventarisasi data seniman, data kelompok dan kegiatan, maupun data karya cipta. Hal ini lebih disebabkan oleh tingginya factor tidak percaya atas pembentukan DKG awal, sampai akhirnya berimbas pada sikap apriori masyarakat seni di Gresik. (lebih