21.1.10

Tantangan Dewan Kesenian

Oleh Henri Nurcahyo
Sudah berapa puluh tahun Dewan Kesenian (DK) lahir? Apakah keberadaannya telah betul-betul diketahui, dipahami dan diterima oleh masyarakat? Alih-alih masyarakat umum yang tak bersentuhan dengan kesenian, pengurus DK sendiri seringkali  tak paham apa itu mahluk bernama Dewan Kesenian.


Ada yang menganggap bahwa Dewan Kesenian adalah DPR-nya seniman. Karena itu proses pemilihan pengurusnya dilalui dengan cara konvensi, meski aspek keterwakilan seniman itu menjadi tidak jelas, lantaran sulit untuk mendapatkan legitimasi, siapa yang berhak disebut seniman. Seniman tidak punya KTA seperti halnya parpol. Kalau toh ada Nomor Induk yang dikeluarkan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan setempat, itu biasanya hanya berlaku bagi seniman tradisi. Banyak seniman yang merasa tidak membutuhkannya, dan mereka mampu membuktikan diri lebih eksis sebagai seniman tanpa perlu ada pengakuan dari pemerintah.

Itu sebabnya, setiap kali diselenggarakan konvensi seniman untuk membentuk kepengurusan DK, selalu saja ribut, menyangkut siapa yang berhak menjadi peserta konvensi. Tidak ada patokan yang dapat dijadikan aturan untuk itu. Memang terkesan bau nepotisme, ada desakan kepentingan pihak tertentu. Tapi mau apa lagi, paling-paling hanya dikira-kira saja siapa yang pantas menjadi peserta itu.

Memang betul bahwa pengurus Dewan Kesenian memang tak harus seorang seniman. Sebab (sesuai namanya) tugas pokok DK adalah mengurusi  kesenian, bukan seniman secara langsung. (Kecuali kalau namanya; Dewan Seniman). Perkara kemudian ada seniman yang jadi pengurus, itu semata-mata karena memang seniman sendiri yang dianggap paling tahu kebutuhan seniman. Kalau toh bukan seniman, lantas siapa yang mau menjadi pengurus?  Idealnya harus mengerti manajemen atau berpengalaman dalam organisasi.

Sayangnya,  secara umum pemerintah kita sekarang ini masih kurang memiliki kepedulian yang selayaknya terhadap DK. Tidak ada pemberdayaan yang memadai pada DK yang dilakukan oleh pemerintah. DK selama ini hanya diposisikan sebagai semacam lembaga sosial yang cukup diberi bantuan seperlunya saja. Itupun masih ada pemkot/pemkab yang tidak menganggarkan bantuan untuk DK. Pemerintah belum mengajak DK untuk menentukan kebijakan, pembinaan dan pengembangan di bidang seni budaya. DK selama ini tidak (belum?) terlibat dalam setiap kebijakan pemerintah daerah dalam hal seni dan budaya.
Yang jelas, DK bukan lembaga penyelenggara kegiatan kesenian. DK bukan Event Organizer (EO). DK tidak sama dengan Sanggar atau organisasi massa seniman. DK hanya punya pengurus, tidak punya anggota sebagaimanba Ormas atau Orsos. Tugas pokok dan fungsi (tupoksi) DK adalah sebagai fasilitator, mediator, dinamisator dan komunikator bagi seniman dan berbagai institusi yang terkait. Tupoksi Dewan Kesenian sudah jelas dan gamblang dipaparkan dalam Anggaran Dasar DK. Namun sayangnya, sekarang ini semuanya itu masih berupa utopia belaka.

Berangkat dari tupoksi tersebut, maka syarat utama bagi pengurus DK adalah seorang organisator atau mengerti manajemen. Bukan lantaran banyak omongnya, cenderung vokal, kemudian langsung didudukkan menjadi pengurus, padahal tidak mengerti cara berorganisasi. Bahkan, untuk pantas sebagai pengurus tidak harus berasal dari seniman kreatif yang berprestasi dan terkenal. Karena tugas pengurus adalah mengurusi kesenian dan bukan malah minta diurusi. Pengurus DK harus berani mengambil risiko tidak populer karena memang salah satu tugasnya justru untuk mempopulerkan pihak lain.

Dalam posisinya terhadap pemerintah, DK semustinya tahu persis tupoksi masing-masing instansi pemerintah yang ada kaitannya dengan kesenian. Mulai dari Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan (dan Kebudayaan), Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Infokom maupun institusi non-Dinas seperti  Badan Perencanaan Pembangunan,  Balai Bahasa, Museum, bahkan juga dengan lembaga legislatif, khususnya Komisi Kesra yang berurusan langsung dengan seni budaya.

Komunikasi dan koordinasi dengan semua institusi tersebut sangat penting bagi DK agar terlibat dalam setiap kebijakan pemerintah daerah dalam hal seni dan budaya. Kalau hanya menunggu bola datang saja yang percuma. Harus proaktif alias menjemput bola. Apalagi dengan asumsi bahwa semua birokrat pada semua institusi tersebut tidak (belum) memahami tupoksi Dewan Kesenian.

Membantu Pemerintah

Apa boleh buat, DK nampaknya diposisikan untuk “membantu” pemerintah dalam mewadahi, menangani dan menguatkan seluruh potensi dan kehidupan kesenian. DK sudah kadung diberi peranan sebagai pemikir dan memberikan usulan pada  pemerintah tentang strategi dan kebijakan pembangunan di bidang kesenian. DK juga sudah kadung diklaim sebagai mitra bagi institusi terkait di bidang seni budaya untuk meningkatkan kualitas,  aktivitas dan fasilitas kesenian.

Posisi DK yang harus “membantu” pemerintah ini memang unik dan menggelikan. Patut dipertanyakan, seberapa besar DK sehingga sanggup betul-betul “membantu” pemerintah? Makna harafiah ”membantu” itu berarti memberikan sesuatu sebagai bantuan. Pertanyaannya, apakah DK memang memiliki banyak kelebihan sehingga tenaga dan pikirannya memang layak untuk diperbantukan pada pemerintah? Yang terjadi selama ini, alih-alih membantu pemerintah, mengurusi diri sendiri saja masih belepotan. Ironis.

Satu pertanyaan lagi, siapakah yang mengklaim bahwa tugas DK adalah membantu pemerintah? Apakah pihak DK sendiri yang memang berbaik hati bersedia menjadi pembantu? Atau, penugasan sebagai pembantu itu ditentukan oleh pihak pemerintah? Lantas, apa konsekuensinya pemerintah mengangkat DK sebagai pembantu? Kalau betul anggapan yang disebut terakhir itu, maka logikanya pemerintah harus menyediakan sarana, prasarana dan kemudahan yang memadai agar DK dapat menjalankan tupoksinya sebagai “pembantu pemerintah”.

Tugas sebagai pembantu itu barangkali lebih layak disandang Dewan Lingkungan, Dewan Pendidikan, KPID atau KPU bahkan KPP yang memang telah mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang memadai untuk menjalankan tugasnya. Sedangkan Dewan Kesenian, perlakuan seperti apakah yang telah diberikan pemerintah? Mungkin sudah ada pemkab/pemkot yang telah memposisikan DK dengan baik, namun jujursaja, masih banyak hubungan DK dan pemerintah ibarat jauh panggang dari api.

Berbeda dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki program kerja membantu program pemerintah meski tidak mendapatkan fasilitas dan bantuan apapun dari pemerintah. Kebanyakan LSM malah mendapatkan bantuan dana dari lembaga funding terutama di luar negeri. Tetapi, ketika ada LSM sedikit kritis saja pada pemerintah, lantas muncul tuduhan bahwa LSM digerakkan oleh luar negeri untuk menyerang pemerintahnya sendiri.

Lagi pula, mengapa DK harus dituntut untuk menjadi representasi kepentingan seniman, sementara Dewan Pendidikan juga tidak pernah melibatkan elemen pendidikan di masyarakat? Demikian juga Dewan Lingkungan tidak pernah menyerap aspirasi para LSM Lingkungan untuk diakomodasikan ketika memberikan masukan pada pemerintah. Apa yang terjadi dengan kedua Dewan itu (Dewan Lingkungan dan Pendidikan) tak lebih hanya mewakili orang perorang yang mengklaim aspirasi masyarakat yang seolah-olah sudah diwakilinya.

Pertanyaannya lagi, apakah memang DK harus memilih posisi sebagai LSM saja, yang tidak menggantungkan kemurahan hati pemerintah untuk menjalankan programnya? Apalagi pengurus DK memang tidak dilantik oleh pemerintah, melainkan hanya dikukuhkan. Itu sebabnya pernah ada sebutan terhadap DK sebagai “semi-LSM”.

Tetapi yang sekarang terjadi adalah, bahwa DK jelas-jelas bukan institusi pemerintah, bukan LSM, bukan lembaga swasta yang murni seniman dan juga bukan sebuah perusahaan atau institusi bisnis dalam bidang kesenian. Jadi, DK itu apa? Apa boleh buat, keberadaan DK sekarang ini masih berada di wilayah abu-abu, tidak jelas. Apa yang digariskan sebagai deskripsi tentang DK sama sekali bertentangan dengan konsekuensi yang menyertainya.

Reposisi dan Redefinisi
Jadi, sudah saatnya DK melakukan reposisi dan redefinisi mengenai dirinya sendiri. Jangan bergagah-gagah mau membantu pemerintah kalau untuk membantu dirinya sendiri saja tidak sanggup. Tidak usah berperan menjadi koordinator, komunikator, fasilitator dan dinamisator kalau untuk melangkahkan kakinya sendiri saja masih beratnya minta ampun. Dewan Kesenian perlu menetapkan tupoksi yang realistis, berdasarkan realita kondisi pemerintah dan masyarakat yang sekarang ini. Bukan yang utopis.

Atau, kalau memang bersikukuh dengan tupoksi yang sudah ditetapkan itu, maka DK harus berjuang untuk memperkuat posisi tawarnya (bargaining position) terhadap pemerintah. Harus ada upaya terus menerus untuk meyakinkan pemerintah agar konsekuen menjadikan DK sebagai pembantunya. Apakah perlu dibandingkan dengan peranan Menteri sebagai pembantu Presiden? Tentu saja, tidak dalam pengertian struktural birokratis.

Last but not least, asal tahu saja, bahwa hingga sekarang ini tidak ada dasar hukum yang kuat bahwa Dewan Kesenian memang harus ada. Ini ironis. Paling-paling yang sering disebut adalah Inmendagri No 5 Tahun 1993, yang menyebutkan setiap propinsi harus membentuk Dewan Kesenian. Kalau hanya itu dasar hukumnya, amat sangat lemah untuk dijadikan landasan bagi pemerintah memperlakukan DK sebagaimana mestinya. Sementara itu, banyak DK yang sudah lahir sebelum Inmendagri tersebut (DK Jakarta lahir tahun 1971, DK Surabaya tahun 1975).

Yang selama ini DK bisa berjalan baik di berbagai daerah karena hubungan baik personalnya dengan pihak birokrasi. Kalau toh ada anggaran tetap bagi DK, itu semata-mata pinter-pinternya menyiasati mata anggaran tanpa harus menyalahi ketentuan. Itu sebabnya anggaran DK selalu dilekatkan di Dinas Kebudayaan atau semacamnya, yang dalam pelaksanaannya sangat rawan terjadi pengalihan.
Itulah yang terjadi dengan Dewan Kesenian. Langkah yang dapat dilakukan adalah berangkat dari niat baik semua pihak, bahwa DK itu perlu dan dibutuhkan. Bukan hanya oleh pemerintah, tapi juga rakyat, termasuk seniman.

Sidoarjo, November 2009
Henri Nurcahyo:
- Ketua Bidang Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan  Dewan Kesenian Sidoarjo
- Anggota Pleno Dewan Kesenian Jawa Timur
– Pengelola Pusat Informasi Kesenian Jawa Timur “brangwetan”,
– Konsultan Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Seloliman Trawas Mojokerto. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar