27.12.08

Takut Malaysia Patenkan Kesenian Hadrah Bawean

12-09-2007 Perjuangan Warga Boyan Melestarikan Tradisi di Negeri Jiran Para perantau asal Bawean sudah beberapa generasi bermukim di Malaysia. Bahkan, sebagian besar di antara mereka telah melepas status sebagai warga negara Indonesia. Namun, dengan berbagai cara, para perantau itu tetap berusaha mempertahankan tradisi nenek moyang mereka. KOMUNITAS orang Bawean di Malaysia biasa disebut dengan orang Boyan. Mereka tersebar di hampir seluruh negeri (negara bagian). Warga pulau kecil yang berlokasi di Jawa Timur itu tergolong sebagai perantau awal di negeri jiran. Bahkan, sebelum negara Malaysia berdiri. Ada yang baru dua generasi, tapi ada juga sudah empat generasi. Nasib mereka pun beragam. Ada yang jadi abdi negara di kantor pemerintahan Malaysia sampai pekerja kasar.Saat ini, sedikitnya ada 120 ribu orang Boyan di Malaysia. Mereka tergabung dalam Persatuan Bawean Malaysia (PBM). ’’Sebenarnya, anggota PBM 40 ribu orang saja. Sebab, yang jadi anggota yang sudah jadi warga negara Malaysia. Sementara, 80 ribu masih anggota istimewa karena masih berstatus warga negara Indonesia (WNI),’’ kata Supiyati Mat Har, ibu enam anak asal Bawean yang sudah sejak usia 4 tahun menetap di Malaysia.Begitu banyaknya warga Bawean di Malaysia, mereka sampai membentuk perkampungan-perkampungan. Misalnya, di kawasan Gombak, Kuala Lumpur, yang memang dikenal sebagai kawasan Boyan. Baju boleh Malaysia, tapi adat Bawean tak boleh musnah. Itulah semboyan komunitas Boyan. Mereka berpegang teguh pada warisan nenek moyangnya. Mulai kesenian, cara berkomunikasi, dan simbol-simbol kehidupan lain. ’’Adat-istiadat itu penting karena ini warisan nenek moyang. Makanya, orang tua selalu meneruskan kepada anak-anaknya meski anak-anaknya sudah jadi warga negara Malaysia,’’ tutur Yati, panggilan Supiyati.Misalnya, seni hadrah atau yang biasa disebut kompangan oleh penduduk Malaysia. Seni menabuh terbang, sambil menyanyikan lagu-lagu Islami itu, tetap menjadi bagian penting warga Bawean. Dalam setiap acara perkawinan atau hajatan lain, komunitas Bawean seakan wajib menampilkan kesenian tersebut. Karena itu, di Malaysia kelompok hadrah mencapai 47 grup. ’’Itu yang tercatat karena sempat dilombakan di sini. Tapi, bisa jadi jumlahnya lebih dari itu,’’ kata Tabrani bin KH Ahmad Rawi, tokoh masyarakat Bawean di Malaysia.Pria 58 tahun yang bekerja sebagai kontraktor itu mengepalai sebuah kelompok hadrah yang diberi nama Miftahul Ulum. Kelompok tersebut memiliki 150 orang anggota. ’’Mayoritas anggota kami sudah warga negara sini. Kelompok kami berdiri sejak 1980-an,’’ tutur Tabrani.Seni hadrah tidak sekadar menjaga warisan nenek moyang. Dari kesenian itu, kelompok-kelompok hadrah mampu mendapatkan keuntungan cukup banyak. Bahkan, sebagian kelompok menyumbangkan hasil manggung untuk membangun tanah kelahirannya, Bawean. Contohnya, kelompok Miftahul Ulum. Hampir setiap bulan mereka menyisakan hasil manggung untuk mendirikan dan membiayai sebuah madrasah. ’’Alhamdulillah, kami bisa bantu tsanawiyah di Desa Sukaoneng, Tambak, Bawean. Kami kirim Rp 4 juta untuk membantu guru-guru di sekolah itu,’’ ucap bapak tiga anak tersebut.Selain itu, Miftahul Ulum mampu mendirikan sebuah masjid di kampung halaman Tabrani. ’’Selama dua tahun, kami mengumpulkan RM 80 ribu (sekitar Rp 200 juta) untuk membangun masjid,’’ ungkapnya. Dia tidak bisa memastikan berapa banyak pundi-pundi ringgit dikumpulkan Miftahul Ulum setiap bulannya. Yang pasti, dalam seminggu, kelompoknya bisa manggung dua kali. Sekali tampil, kelompok hadrah paling tidak mendapatkan bayaran RM 400 (sekitar Rp 1 juta). ’’Tergantung banyak sedikitnya personel yang kami bawa. Kalau lebih banyak, harganya lebih tinggi,’’ tandasnya.Tabrani yang tinggal di Malaysia sejak 1975 menuturkan, orang tua harus sedikit memaksa anak-anaknya untuk belajar tentang warisan Bawean. Sebab, mereka menganggap budaya asal tanah kelahirannya tersebut masih lebih baik daripada budaya anak muda zaman sekarang. ”Mengajak anak muda untuk belajar budaya Bawean memang sedikit susah. Selain mereka sudah warga negara Malaysia, anak-anak juga sudah terpengaruhi budaya luar. ”Tapi, kami tetap berusaha mengajarkan kepada anak-anak. Sebab, semacam kesenian hadrah kan anak-anak dikenalkan cerita-cerita nabi dan keteladanan lainnya,’’ tutur Tabrani yang tinggal di Kampung Cangkat, Gombak.Karena itu, untuk membuat anak-anak muda Bawean tertarik, banyak kelompok hadrah yang memodifikasi lagu-lagu dangdut atau pop yang cukup terkenal. Misalnya, lagu Putri Panggung yang dipopulerkan oleh pendangdut Uut Permatasari. ’’Kami mengganti lirik lagu itu dengan bacaan-bacaan cerita keteladanan nabi dalam buku Barzanji,’’ kata Syarifudin bin Zairasy, pimpinan kelompok hadrah Raudattul Muttaqien.Untuk membentuk grup, komunitas Bawean masih bergantung pada Indonesia. Mereka masih menggunakan peralatan musik dari negara asalnya. ’’Suara terbang dan peralatan lain di Malaysia beda dengan di Indonesia. Suaranya alat-alat dari Indonesia lebih bagus. Makanya, kami harus impor dari Indonesia,’’ tutur Syarifudin lantas tersenyum.Hadrah bisa dibilang naik daun di Malaysia. Kelompok komunitas Bawean tidak hanya tampil di kampung-kampung untuk hajatan warga. Kini, mereka juga langganan diundang pemerintah Malaysia. ’’Kami sering tampil di semacam kantor-kantor dinas. Hingga main di gedung DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)-nya Malaysia. Setiap tahun, pemerintah Malaysia juga mengadakan festival hadrah tingkat nasional,’’ ucapnya.Bahkan, sekarang, banyak penduduk asli Malaysia yang membuat grup hadrah. Meski cara bermainnya sedikit beda dengan hadrah dari Bawean, Syarifudin tetap khawatir. “Bagaimana kalau kesenian ini akan dipatenkan oleh Malaysia,’’ ujar pria 39 tahun itu. Selain kesenian, komunitas Bawean di Malaysia juga masih kukuh mempertahankan bahasa daerahnya (bahasa Madura dialek Bawean). Orang tua juga seakan memaksa anak-anaknya yang sudah menjadi warga negara Malaysia tetap menggunakan bahasa ibu mereka.Kata dia, komunitas Bawean di mana saja seperti itu. Tak hanya di Malaysia. Di Singapura komunitas Bawean juga berkomunikasi dengan bahasa Bawean. ”Bahkan, ada yang tidak bisa bahasa Indonesia. Sebab, sejak lahir, anak-anak mereka hanya menggunakan bahasa Bawean dan bahasa Inggris,’’’ tutur Yati. Yang menarik, dari segi kebangsaan, anak-anak dari pasangan orang tua Bawean itu sudah merasa bagian yang tidak terpisahkan dari Malaysia. Mereka lebih cinta negara kelahirannya daripada negara orang tuanya.’’Itu kelihatan kalau sedang ada pertandingan sepak bola atau bulu tangkis. Saat nonton bareng, anak-anak selalu membela tim Malaysia, sedangkan orang tua dukung Indonesia. Sehingga, kadang-kadang bergaduh,’’ kata Tabrani, lantas tertawa lepas.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar