Kota Gresik dan Budaya Santri
Jumat, 6 Maret 2009 9:00 WIB Kategori: Opini
ShareThis
Gresik tidak ubahnya sebuah museum atau tempat penyimpanan artefak Islam semata. Gresik tidak lebih dari sekadar tempat bersemayamnya jasad para waliyullah. Dengan kata lain, seiring dengan wafatnya para waliyullah, perlahan namun pasti redup pula pancaran nilai-nilai Islam dari bumi Gresik.
SANGAT lama Kota Gresik menyandang predikat “Kota Santri”. Entah apa alasannya, sehingga Gresik layak disebut Kota Santri. Apakah karena Gresik dulu merupakan salah satu pintu gerbang masuknya Islam di Jawa Timur, atau karena penghasil kopiah (songkok) yang kerap dijadikan identitas kaum muslim, atau karena Gresik memiliki koleksi makam para auliya (waliyullah) paling banyak ?
Dengan memperhatikan posisi geografis sebagian wilayah Gresik, yang terbentang sepanjang pesisir pantai (Panceng, Sedayu, Bunga, Manyar dan Gresik), tidak dipungkiri, Gresik pernah memiliki peran strategis terkait masuk dan berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Paling tidak, banyaknya makam para auliya dan para kerabatnya. Daerah itu, minimal pernah menjadi tempat bermukim para penyebar agama Islam di Jawa.
Sebagaimana banyak sejarah mencatat, para penyebar agama Islam di Indonesia bukan mubaligh (penyebar agama) murni. Sebagian besar justru kaum pedagang dan sekaligus sebagai mubaligh. Tidak berlebihan bila kehadiran mereka relatif lebih mudah diterima oleh masyarakat.
Meski demikian, mereka bukanlah pribadi yang berwatak materialis-kapitalisme. Status mereka sebagai pedagang sekaligus berfungsi sebagai sarana dakwah yang efektif. Keberadaan para waliyullah di Gresik itu tidak semata-mata mengajarkan Islam secara normatif.
Lebih dari sekadar mengajarkan agama (Islam) secara formalis-simbolik, para waliyullah berkemauan keras menata masyarakat Gresik untuk menjadi masyarakat yang memiliki budaya agamis yang tinggi. Jadi, Sejarah Gresik sebagai kota kaum santri seirama dengan perjalanan panjang para pemuka Islam itu.
Identitas SantriSeiring berjalannya waktu, Gresik tidak ubahnya sebuah museum atau tempat penyimpanan artefak Islam semata. Gresik tidak lebih dari sekadar tempat bersemayamnya jasad para waliyullah. Misalnya Maulana Malik Ibrahim, Gunan Giri, Nyai Ageng Pinatih, Sunan Prapen dan sebagainya. Dengan kata lain, seiring dengan wafatnya para waliyullah, perlahan namun pasti redup pula pancaran nilai-nilai Islam dari bumi Gresik.
Penghargaan terhadap para waliyullah, hampir-hampir telah sirna. Yang tersisa hanyalah penghargaan-penghargaan simbolik yang kering makna, diantaranya : khaul, ziarah wali dan sejenisnya yang mewujud dalam tradisi “meruwat makam”.
Sedangkan untuk membangun tradisi “meruwat ajaran waliyullah” tersebut hampir-hampir turut terkubur bersama jasad para wali itu sendiri. Keteladanan akhlak waliyullah yang kemudian mampu mengantarkan Gresik sebagai Kota Santri justru tidak berbekas.
Ironisnya, meski budaya santri telah benar-benar terkubur dalam “gudang sejarah”, predikat Kota Santri tetap dibangga-banggakan. Mengesankan bahwa kebanggaan terhadap predikat tersebut tidak identik dengan kepahamannya. Bukankah secara sosiologis istilah ’santri’ merupakan produk kultural yang memiliki arti “masyarakat agamis”.
Semestinya pencitraan masyarakat Gresik sebagai ‘masyarakat santri’ terkait erat dengan moralitas masyarakat Muslim. Baik dalam moralitas berpolitik, sosial, ekonomi maupun budaya. Perkembangan perilaku kaum muda di Gresik saat ini dapat dikata dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Norma-norma religius hampir benar-benar tercerabut dari akarnya dan bahkan sekarang berbelok arah ke pola budaya hedonis-materialis.
Kaum muda telah banyak menyingkir dari lingkungan masjid atau tempat-tempat yang selaras dengan karakteristik masyarakat santri, dan beralih ke warung remang-remang yang kian hari berkembang kian massif. Tak terkecuali mereka yang masih berstatus pelajar — dan bersekolah di sekolah yang bersimbolkan Islam.
Menemukan kerumunan anak-anak muda (dan pelajar) di warung-warung mesum yang berkedok “warung kopi”, bukanlah hal yang sulit, baik siang ataupun malam hari. Warung-warung yang tersebar mulai dari wilayah Panceng (Gresik Utara) sampai Balongpanggang (Gresik selatan) itu merupakan fenomena lain dari Gresik. Maka bukan hal yang aneh lagi bila pengidap virus HIV/AIDS di Gresik juga tergolong tinggi.
Menjamurnya praktik prostitusi, yang melibatkan kalangan remaja-remaja di bawah umur , dengan kedok warung kopi itu, merupakan indikator bahwa degradasi moral dikalangan kaum muda Gresik sudah berada dalam tahapan yang sangat akut.
Tanggungjawab BersamaApakah kondisi riil kaum muda ini sebagai konsekuensi logis dari Gresik yang juga menyandang status sebagai kota industri? Belum lagi dengan perilaku politisi yang kerapkali jauh dari nilai-nilai religius dalam usaha untuk mewujudkan ambisi politiknya.
Semua mencerminkan bahwa kerusakan mentalitas religius tidak hanya menjangkiti generasi tertentu dan wilayah tertentu saja. Penyebaran penyakit hedonis-materialisme, yang salah satu cirinya menghalalkan segala cara, sudah mewabah.
Terkait dengan identitas budaya, masyarakat Gresik sejatnya dihadapkan pada dua tantangan identitas, yaitu “kota santri” dan sekaligus “kota industri”. Masalahnya, haruslah budaya santri yang sarat dengan nilai-nilai luhur itu harus menjadi tumbal ambisi-ambisi industrial. Atau sebaliknya, mempertahankan kekuatan industrial Gresik namun bisa hidup selaras dengan nilai-nilai luhur dari pesantren.
Tampaknya, tanggungjawab utama berada di pundak seluruh masyarakat Gresik yang masih merindukan nilai-nilai Islami dalam kehidupan masyarakatnya. Sedangkan peran sentral perubahan ada ditangan para elite birokrat dan politik di Gresik. Ditangan mereka inilah, harapan dan tuntutan masyarakat bisa diwujudkan atau bahkan dikuburkan.Selamat HUT Ke-522 Kota Gresik pada 9 Maret 2009.
Abd Sidiq NotonegoroPengkaji Sosial-Keagamaan, dosen Universias Muhammadiyah Gresik
MELEMPEM
BalasHapusSaya rasa tulisan ini kurang tepat klo diposkan di halaman DKG (Dewan Kesenian Gresik). Juga terlihat penulis hanya memperhatikan dari satu sisi saja, suatu tulisan mestinya dikaji dulu dari berbagai materi yang ditulis. Saran saya kaji & teliti ulang obyek tulisan. wassalam.
BalasHapustulisan yng cukup menggugah kesadaran sosial. memang benar nilai-nilai ke-santri-an gresik terancam terdegradasi, namun bukan berarti nilai2 tsb tidak ada sama sekali. tulisan ini menunjukkan, yang saya menyebutnya, sikap "pesimis" atau bahkan mungkin "sinis". dari awal kailmat tulisan sikap tsb sangan tampak... jadi bukan pesimisme yang kita butuhkan untuk membangun, tapi optimeisme-lah yang kita cari. bravo gresik. Good Job
BalasHapus