8.3.09

GELAR PAWAI BUDAYA HUT GRESIK 2009

GELAR PAWAI BUDAYA HARI JADI KOTA GRESIK 2009
Takut tidak diakui sebagai kota santri?


Pemkab Gresik merayakan dan memperingati hari jadi kota Gresik ke 522 dan HUT Pemkab Gresik ke 35 dengan mengadakan seabreg kegiatan dan lomba-lomba bahkan bagi-bagi 15 ribu bungkus nasi krawu ( untuk apa ? sekedar sensasi untuk mendapat perhatian rakyat saja atau mampu memjadi solusi bagi sulitnya rakyat menghadapi kebutuhan hidupnya?).
Pada hari kamis, 5 Maret 2009 Pemkab Gresik mengadakan Gelar Pawai Budaya yang diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat, pelajar, BUMN dan staf kantor dinas di lingkungan Pemkab Gresik dengan membagi acara tersebut menjdi 2 jenis dalam satu waktu, yakni pawai busana daerah dan pawai grup kesenian . Mereka diharuskan jalan kaki ( gak kesel tah ?) alias tidak boleh mengendarai kendaraan bermotor, kecuali para cak dan yuk Gresik yang diarak naik jip willis ( wah gak adil yaa..).
Untuk peserta pawai busana daerah, mereka mengenakan busana khas Gresik (katanya..) yakni yang pria mengenakan setelan seperti umumnya orang Gresik pergi ke Masjid, sarung, baju koko berkopyah, bahkan ada yang berbusana mirip cak Suroboyo. Ada juga yang pakai baju khas kiai lengkap dengan sorbannya. Sedang yang perempuan mengenakan kebaya jawa, kain sewek dan kudung sarung khas wong Giri. Tetapi ada juga yang mengenakan busana daerah lain seperti bugis, madura dll.
Sedangkan peserta grup kesenian menampilkan berbagai jenis kesenian (yang dianggap) khas Gresik seperti qosidah, hadrah, terbang jidor, jaran jinggo (kuda yang bisa menari dan melakukan atraksi sesuai instrusi pawangnya) tapi nggak ada pencak macan yaitu kesenian khas pesisir Gresik yang menjadi andalan ketika Gresik ikut kompetisi Pemuda Pelopor tahun lalu). Justru reog sebagai kesenian khas Ponorogo tampak lebih menonjol dan menjadi daya tarik sendiri bagi masyarakat Gresik selain grup Drum Band pelajar yang saya hitung ada lebih dari 4 kelompok.
Sekedar apresiasi Kota Santri dan Pawai Budaya
Secara keseluruhan pertunjukan Gelar Pawai Budaya tersebut bagi masyarakat Gresik (perkotaan) cukup sebagai sekedar hiburan tahunan yang bahkan tidak lebih baik dari acara yang sama yang diadakan tahun lalu. Kesan sekedar ada sangat menonjol dibandingkan dengan kesan adanya pembinaan dan pengembangan acara agar kegiatan tersebut berkesan dan mampu menjadi warna khas bagi budaya Gresik.
Ironisnya lagi karena “takut” tidak dikatakan Gresik Kota Santri, para peserta pawai terkesan dipaksakan untuk menggunakan atribut-atribut serta busana sehari-hari masyarakat muslim Gresik yang biasa memakai sarung dan baju koko. Apa iya.. kalo santri itu harus berbusana seperti itu.. wong banyak kok yang lebih santri tapi biasa-biasa saja…, demikian pendapat salah satu penonton yang mengikuti acara tersebut di pinggir jalan. Memang acara budaya yang memakan biaya sebesar itu mestinya dapat memberikan pencerahan baru bagi pengembangan budaya Gresik yang beragam sehingga tidak sekedar kulitnya saja yang bernuansa kota Santri, tapi seluruh gerak kehidupan masyarakat Gresik berbudaya santri.
Barangkali Pemkab Gresik khususnya Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga (BUDPARPORA) tidak perlu lagi merasa lebih pintar dalam mengemas kegiatan yang melibatkan masyarakat, apalagi dalam even yang besar. Mari bersama-sama kita berbesar hati untuk selalu pasang mata pasang telinga, kita dengarkan aspirasi masyarakat dan kita tampung pendapat mereka yang akhirnya menjadi formula bagi perkembangan budaya Gresik yang efeknya barangkali seperti Dinas BUDPARPORA bisa menjual aktivitas budaya masyarakat menjadi obyek wisata.
Cobalah kita menengok (syukur-syukur bisa mengamati dan menjadi bahan pembanding) even yang diadakan oleh saudara kota di Jember Jatim yang telah mengadakan acara pawai keliling kota yang mirip dengan yang diadakan oleh Pemkab Gresik ( tapi lebih bagus yang sanaaa..) sejak tahun lalu dan tahun 2009 ini akan diselenggarakan lagi dengan judul Jember Fashion Carnaval JFC).
Untuk tahun ini sebelum acara diadakan di Jember, panitia mencoba memancing minat masyarakat dari luar Jember dengan mengadakan pawai di Surabaya lebih dulu. Dimana acara pawai diawali dari Gedung Grahadi dan berakhir di Plasa Surabaya dalam rangka usaha memperkenalkan pada masyarakat Surabaya (yang ibu kota Jawa Timur) akan pawai JFC yang digelar tiap Agustus. Mereka mengenakan pakaian beraksen merak dari bahan bekas sebagi cermin bahwa mereka juga peduli lingkungan.
Barangkali jika sekali-kali Dinas BUDPARPORA dengan senang hati membuat forum seminar, diskusi, musyawarah atau sarasehan dengan mengundang para tokoh, seniman, budayawan dan intelektual Gresik untuk bersama-sama diajak mencari solusi untuk memunculkan kekhasan Gresik Kota “Santri” yang tidak sekedar kulit tapi juga isi, mungkin akan muncul berbagai ragam pendapat yang bisa menjadi acuan bagi program budaya ke depan.
Sehingga istilah Gresik Kota Santri tidak lagi menjadi beban sosial yang jalan keluarnya hanya sekedar polesan tampak muka saja tetapi benar-benar menjadi kebiasaan budaya yang benar-benar santri. Karena hakikatnya santri adalah kebudayaan tholabul ilmi. Maka bukan karena tidak bersurban dan berbaju koko kemudian divonis bukan santri ( sampai-sampai pegawai pemkab Gresik diwajibkan pakai baju koko/busana muslim selama seminggu agar terkesan bahwa Gresik adalah Kora Santri) tapi lebih pada sikap dan kebiasaan budaya sebagai santri yang tholabul ilmi, mensyiarkan ibadah dan tempat ibadah, suasana sekolah sebagai tempat menggali ilmu semarak termasuk seringnya muncul ajang diskusi/musyawarah dalam menemukan solusi masyarakat untuk menjadikan masa depan mereka menjadi lebih “santri”.( Kris Adji AW, Pelukis, Budayawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar