18.1.09

SENIMAN JATIM KEHILANGAN INDUK

Seniman Jatim Kehilangan Induk
Kamis, 15 Januari 2009 10:01 WIB Kategori: Opini
ShareThis
Para seniman kalau perlu menyuarakan aspirasinya melalui wakil rakyat yang duduk di DPRD Jatim, khususnya komisi E, bahwa kesenian itu tetap penting, untuk memberikan warna berbeda pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
KADO pahit diterima seniman Jawa Timur pada akhir 2008, berupa pembubaran sebuah lembaga pemerintah bernama Taman Budaya Jawa Timur (TBJ), menyusul diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) 41/2007 tentang Pengaturan Perangkat Daerah oleh Pemprov Jatim.
Pembubaran Taman Budaya Jatim yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) dan Subdin Kebudayaan di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K) Jatim ini, muncul bersamaan dengan pengumuman mutasi sekitar 1.800 pejabat di lingkungan Pemprov Jatim.Pembubaran TBJ yang sudah menjadi rumahkedua bagi seniman Jatim dan provinsi lainnya ini, terlihat saat nama para pejabatnya, masuk dalam daftar mutasi. Hal ini membuat kaget masyarakat,khususnya para seniman Jatim, yang selama ini menganggap TBJ adalah tempat penyaluran kreatifitas, aktivitas dan apresiasi dibidang seni budaya, yang dianggap paling menonjol di Jatim.
Dibandingkan lembaga lain yang sama-sama menangani kesenian kebudayaan, TBJ layak dipertahankan keberadaannya. Ketika PP 41/2007 sering didengungkan Gubernur Jatim, Imam Utomo, saat itu para seniman memprediksi bahwa Subdin Kebudayaanlah yang dibubarkan dan bergabung dengan Dinas Pariwisata Jatim, mengingat satuan kerja ini dinilai cukup eksklusif, merasa lebih elite, dantertutup dimata seniman. Para pejabatnya berlaku sebagai birokrat asli, semuanya serba formal, dan jauh dengan kehidupan seniman.Diakui atau tidak serta realitas di lapangan, para seniman Jatim, bahkan dari luar Jawa sekalipun, lebih suka dan akrab dengan TBJ, karena lebih terbuka, pejabatnya juga ‘nyeniman’, tetap menjalankan aturan main tetapi tidak kaku atau fleksibel. Kapanpun seniman mau masuk TBJ, apakah itu sekadar ‘cangkruk’, mau pinjam gedung untukkegiatan seni, ngobrol masalah kesenian, atau menginap di wisma seni yang sudah menjadi langganan para seniman dari luar Jatim, pintunya bebas danterbuka lebar 24 jam.Mereka tidak perlu berpakaian necis, pakai sepatu,baju dan dasi, tetapi cukup mengenakan celana jins, kadang celana sebatas bawah lutut, kaos oblong, pakai sandal jepit, sudah bisa bertamu dan ngobroldengan kepala TBJ, di ruang ber AC, bengkel kerja, maupun di warung. Itulah sifat, budaya, dan perilaku, yang tidak dimiliki oleh lembaga lain di lingkungan Dinas P dan K, yang sama-sama menangani masalah kesenian.
Belum MemuaskanDiakui atau tidak, TBJ yang seolah menjadi jelmaan Dewan Kesenian Surabaya (DKS), memiliki jaringan kerja kesenian dan antarseniman, organisasi kesenian secara nasional serta telah melaksanakan kegiatan kesenian baik itu berupa pergelaran, pameran, pelatihan, diskusi, sarasehan, yang dilakukan secara rutin tiap tahun.
Bahkan ada beberapa agenda kegiatan kesenian yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000 yang sifatnya nasional, seperti Festival Cak Durasim, Surabaya Full Musik, yang selalu melibatkan seniman dari berbagai provinsi bahkan luar negeri.
Sedangkan kegiatan kesenian yang sifatnya regional Jatim, seperti Festival Kesenian Kawasan Selatan, Kawasan Utara, Bienale Seni Rupa (dua tahun
sekali) dan telah dilaksanakan dua kali, Festival Teater Remaja (sejak 1998), maupun pelatihan, diskusi, yang sifatnya meningkatkan kemampuan dan wacana seniman Jatim, semuanya merupakan agenda rutin tiap tahun yang terus berkesinambungan.
Memang semuanya belum memuaskan 100 persen bagi seniman Jatim, tetapi realitanya banyak seniman Jatim yang kini dikenal secara nasional, dan sering mendapat undangan untuk menunjukan aktivitas dan kreativitasnya di berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga kesenian dari berbagai kota lainnya, baik yang sifatnya regionalmaupun nasional.
Selain itu kepala TBJ juga mendapat kepercayaan dari Taman Budaya provinsi lainnya untuk menjadi ketua koordinator kerja antar-Taman Budaya se Indonesia, karena selama ini dianggap paling eksis dan memiliki seabrek kegiatan kesenian.
Sebab, tahun 1980, Taman Budaya baru terbentuk di 25 propinsi, dan waktu itu hanya dua provinsi yang tidak memiliki Taman Budaya, yakni DKI Jakarta, Sumatera Selatan (Palembang), dan provinsi baru hasil pemekaran pada era otonomi daerah.
Pada era ini pula TBJ yang dulu sebagai lembaga pusat atau bertanggungjawab pada pemerintah pusat, di bawah Dirjen Kebudayaan, tepatnya 7 Juni 2002, resmi menjadi UPT dilingkungan Dinas P dan K Jatim, melalui SK Gubernur Jatim nomor 41 tahun 2002, dengan nama lembaga tetap Taman Budaya Jatim.
Enam tahun kemudian dan tepatnya pada 23 Desember 2008 lalu bertempat di gedung Islamic Center, TBJ resmi dibubarkan. Karyawannya bergabung dengan karyawan Subdin Kebudayaan, di lembaga baru bernama Balai Pendidikan dan Pengembangan Kesenian Jatim. Sedangkan kepala TBJ, menduduki pos baru menjadi kepala bidang Permuseuman dan kepurbakalaan, di Dinas Pariwisata Jatim.
Akankah kehidupan dan perkembangan kesenian di Jatim tersendat atau mundur, berhenti, pascadibubarkannya TBJ, tentunya kita semua berharap tidak demikian. Para seniman Jatim khususnya Surabaya, harus tetap berjuang, terus berkarya, tanpa harus menunggu ada atau tidaknya lembaga kesenian yang peduli dan mengulurkan tangan untuk memberikan bantuan.
Para seniman kalau perlu menyuarakan aspirasinya melalui wakil rakyat yang duduk di DPRD Jatim, khususnya komisi E, bahwa kesenian itu tetap penting, untuk memberikan warna berbeda pada kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kita tunggu saja kiprah para pejabat baru yang menangani masalah kesenian dan kebudayaan di Jatim, dan kita juga berharap para pejabat baru ini maupun anggota DPRD Jatim tidak terlena dengan jabatan dan kursi empuknya.
Cak BayanPekerja seni, tinggal di Surabaya